December 31, 2018

Tuntunan Islam Menyikapi Musibah

Musibah Tsunami Banten
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Mukadimah
Para ulama mendefinisikan musibah sebagai “segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia” (kullu makruuhin yahullu bi al-insan) (Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, h. 527).

Musibah yang sering terjadi di Indonesia akhir-akhr ini misalnya, benar-benar telah melahirkan berbagai hal yang dibenci, seperti robohnya rumah, kematian anggota keluarga, rusaknya perabotan, dan sebagainya. Bagaimana tuntunan Islam dalam menyikapi musibah seperti ini?

December 29, 2018

Poligami dalam Tinjauan Historis, Politis, dan Normatif

Poligami

Oleh : K.H Ir. muhammad Shiddiq al-Jawie, MSI**

1. Pengantar


Poligami berulang kali menjadi isu kontroversial di Indonesia. Yang terbaru adalah ketika ada peresmian (launching) Klub Poligami Indonesia di Bandung 17 Oktober 2009 lalu. Dalam peresmian yang dilaksanakan Hotel Grand Aquila Bandung itu, hadir juga ketua klub poligami Malaysia Global Ikhwan Chodijah Binti Am. (www.antaranews.com).

Reaksi dari kaum sekuler / liberal pun bermunculan. LSM Institut Perempuan menolak klub poligami Indonesia itu (19/10). Direktur LSM Institut Perempuan, Elin Rozana, berkomentar, "Kami menolak klub poligami Indonesia. Peluncuran klub poligami ini telah menyakiti hati perempuan dan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan." (www.antaranews.com).

Tak lama kemudian berdirilah Koalisi Laki-laki Anti Poligami guna menandingi Klub Poligami tersebut (1/11). Koalisi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa, "Tidak semua laki-laki setuju dan mengamini poligami," kata anggota Koalisi Laki-Laki Anti Poligami Wawan Suwandi. Poligami menurutnya adalah bentuk perendahan martabat lelaki karena membuktikan lelaki tidak bisa memanajemen syahwatnya. (www.tempointeraktif.com).

Sebelum ini, pro kontra seputar poligami juga meledak beberapa saat sebelum Pemilu Caleg pada bulan Maret 2009 lalu. Menjelang Pemilu Caleg, muncul slogan "Jangan Pilih Caleg Poligami." Aktivis Solidaritas Perempuan Indonesia (SPI), Yenny Rosa Damayanti, menilai para elit yang berpoligami sangat rentan melakukan korupsi karena menanggung lebih dari satu keluarga. SPI dalam mendeklarasikan gerakannya pun menyebutkan sejumlah nama caleg dan anggota DPR yang melakukan atau mendukung praktik poligami. Mereka adalah Ahmad Muqowam (PPP), Endin AJ Soefihara (PPP), Syahrial (PPP), Usamah Al Hadar (PPP), Daud Rasyid (PKS), Didin Amaruddin (PKS), Tifatul Sembiring (PKS), Anis Matta (PKS), Zulkieflimansyah (PKS), Effendy Choirie (PKB) dan AM Fatwa (PAN). (www.inilah.com).

Sekitar dua tahun lalu (akhir 2006) pro kontra seputar poligami juga meledak hebat di Indonesia. Pemicunya adalah Aa Gym yang berpoligami. Pemerintah merespons secara reaksioner dengan merencanakan kebijakan yang kontroversial. Sejumlah peraturan yang mempersulit (baca : melarang) poligami, seperti UU No 1 /1974, PP 10/1983, dan PP 45/1990, akan direvisi. Larangan poligami akan diperluas tidak hanya kepada PNS dan TNI/Polri tapi juga kepada masyarakat luas.

Melihat kenyataan pro kontra poligami tersebut, diperlukan upaya untuk mendudukkan masalah poligami ini dengan perspektif yang komprehensif. Tujuan tulisan ini adalah :
Pertama, meninjau poligami dari tinjauan historis (sejarah), untuk membuat pemetaan (mapping) mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam pro-kontra poligami ini;
Kedua, meninjau poligami dari tinjauan politis, untuk mengungkap motif politik di balik berbagai peraturan pemerintah yang mempersulit poligami;
Ketiga, meninjau poligami dari tinjauan normatif (Syariah Islam), untuk menjelaskan hukum poligami dalam Islam dan membantah pendapat-pendapat yang mengharamkan poligami.

2. Sejarah Pro-Kontra Poligami

Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat). Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya poligami, karena semua ulama sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Hal ini karena kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti). Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360 :
"Masalah menikah dengan lebih dari satu isteri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap (syar’un tsabit) dan sunnah/jalan yang diikuti (sunnah muttaba’ah). Tidak ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka pun tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun mereka berbeda pendapat dalam kebanyakan bab dan masalah fikih. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…"

Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat disimpulkan kalau kita menelaah kitab al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry Juz IV hal. 206-217 (Beirut : Darul Fikr, 1996) yang membahas tentang pembagian nafkah dan bermalam kepada para isteri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).

Dalam kitab Maratib al-Ijma', Ibnu Hazm menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa apabila seorang muslim menikahi maksimal empat orang perempuan sekaligus maka hukumnya halal. (Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma', hal. 62) (Lihat Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press, 2006], hal 41).

Jadi selama kurang lebih 1300 tahun tak ada beda pendapat soal bolehnya poligami ini di kalangan seluruh umat Islam. Lalu sejak kapan mulai muncul pro kontra poligami? Pro kontra ini baru muncul pada abad ke-19 M / ke-14 H ketika imperialis Barat yang berideologi sekuler menancapkan kukunya di Dunia Islam. Dalam situasi Dunia Islam yang dicengkeram ideologi kafir dari penjajah, muncullah beberapa orang modernis/liberal yang menggugat dan menolak poligami. Mereka itu misalnya Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), Ameer Ali (1849-1928), Muhammad Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), dan Maulana Abul Kalam Azad (1888-1958) (Lihat Maryam Jameelah, Islam and Modernism, Lahore : Muhammad Yusuf Khan and Sons, 1988).

Sayyid Ahmad Khan misalnya, memandang bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, sedangkan poligami merupakan pengecualian. Poligami tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan yang jarang dan harus terbatas pada kondisi pengecualian saja (Busthami M. Said, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin, hal. 141).

Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar (yang ditulis oleh muridnya Rasyid Ridha) pada Juz IV hal. 346-363 juga berpendapat senada. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja (Tafsir Al-Manar, Juz 4/350).

Pada gilirannya, pendapat Abduh ini selanjutnya diikuti oleh para pemikir lainnya, baik yang memang modernis/liberal maupun yang sekedar terpengaruh dengan mereka. Mereka itu misalnya Syaikh Al-Bahiy al-Khuli, Syaikh Abdul Muta’al Ash-Shaidiy, dan Abdul Aziz Fahmi (Lihat telaah atas pemikiran tafsir ketiga tokoh ini dalam Fadhl Hasan Abbas, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Hadits, I/114-115).

Selain mereka, sikap Abduh yang anti poligami sedikit banyak juga mempengaruhi Jamaluddin al-Qasimi (Tafsir al-Qasimi/Mahasin al-Ta`wil, V/30), Ahmad Musthafa al-Maraghi (Tafsir al-Maraghi, IV/183), Muhammad Izzat Darwazah (at-Tafsir al-Hadits, IX/11-13), Abdul Karim Khathib (at-Tafsir al-Qur`ani li al-Qur`an, II/697), Dr. Wahbah Zuhaili (Tafsir al-Munir, IV/242), dan Ali Nasuh ath-Thahir (Tafsir Al-Qur`an al-Karim Kama Afhamuhu, I/309). Para "ulama" ini boleh dikatakan idenya masih satu nasab dengan ide Abduh. Abduh-lah yang menjadi inspirator bagi semuanya.

Namun, sebenarnya pendapat mereka yang anti poligami itu, bukanlah asli dari mereka. Mereka hanyalah mengambil alih dari para orientalis atau misionaris Kristen/Katholik. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa poligami adalah sesuatu yang dilarang dalam masyarakat Barat yang Kristen dan karenanya sering menjadi sasaran cemoohan atau hinaan kaum kafir.

Dalam kitab Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami karya Dr. Shabir Tha’imah hal. 53 (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984), disebutkan bahwa poligami merupakan salah satu ajaran Islam yang sering dikecam oleh kaum misionaris. Dalam kitab lain, al-Tabsyir wa al-Isti’mar fi al-Bilad al-Arabiyah hal. 42-43 (Beirut : Maktabah Arabiyah, 1986) Dr. Musthafa al-Khalidi dan Dr. Umar Umar Farrukh menerangkan, bahwa poligami telah menjadi sasaran hinaan atau kritikan oleh kaum orientalis kafir, seperti W. Wilson Cash, dalam bukunya The Moslem World in Revolution (London : 1926), hal. 98. Orientalis Noel J. Coulson mengatakan, bahwa keadilan di antara isteri mustahil dipenuhi, dan karena itu, poligami harus dilarang sama sekali (Lihat Noel J. Coulson, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk (Ed.), Islam di Asia Tenggara, [Jakarta : LP3ES, 1990], hal.170).

Ringkasnya, serangan terhadap poligami sebenarnya bukan sesuatu yang baru ada sekarang tapi sudah lama, yakni sejak abad ke-19 M. Kecaman terhadap poligami ini bukanlah dari ulama, tapi aslinya dari kaum orientalis atau misionatis yang kafir, yang kemudian diteruskan oleh kaum modernis seperti Sayyid Ahmad Khan dan kawan-kawannya. Pada gilirannya, pandangan kaum modernis ini diadopsi dan diundangkan sebagai peraturan publik oleh para penguasa sekuler di negeri-negeri Islam.

Jadi di sini telah terjadi tiga tahapan serangan terhadap poligami. Pertama, serangan kaum orientalis atau misionaris. Kedua, selanjutnya –ini amat disayangkan-- serangan para orientalis dan misonaris itu lalu diteruskan oleh para pemikir modernis/liberal seperti Abduh dkk. Ketiga, selanjutnya serangan terhadap poligami yang telah diformalisasikan dalam bentuk peraturan perundangan oleh para penguasa di negeri-negeri Islam. (Mohammad Baharun, Isu Zionisme Internasional, hal. 53; Dr. Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Rahin, hal. 187).

Tentu saja, kaum liberal/modernis itu seakan-akan membela Islam, karena mereka pandai menipu umat Islam dengan berdalil pakai ayat ini atau hadis itu. Jadi, generasi muda Islam yang polos akan mudah ditipu dengan kepandaian mereka memutar-balikkan pengertian ayat untuk tujuan melarang poligami. Mengomentari kaum modernis yang melarang poligami itu, dengan tegas dan tepat Abul A’la Al-Maududi –rahimahullah— berkata :
"Demikian pula tentang ide larangan poligami, tidak lain ia hanyalah barang asing yang diimpor ke negeri kita dengan alasan palsu yang disandarkan kepada Al-Qur`an." (Abul A’la Al-Maududi, Al-Islam fi Muwajahah Tahaddiyat al-Mu’ashir, hal. 259).

Jelaslah, bahwa penentangan poligami itu hakikatnya bukanlah karena poligami itu suatu perbuatan dosa atau haram dalam agama Islam, melainkan karena poligami itu adalah barang najis yang sangat dibenci oleh masyarakat Barat yang Kristen. Kebencian atas dasar semangat Nashrani inilah yang kemudian merasuki alam pikiran kaum orientalis/misionaris yang kafir, selanjutnya merasuki pula alam pikiran kaum liberal seperti Sayyid Ahmad Khan dan lain-lainnya, dan selanjutnya merasuki pula benak para penguasa negeri-negeri Islam.

Padahal, agama Nashrani sendiri pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak ada satu pun ayat Injil yang secara tegas melarang poligami. Ketika orang-orang Kristen Eropa melaksanakan monogami, tidak lain karena kebanyakan bangsa Eropa saat itu meneruskan tradisi Yunani dan Romawi yang melarang poligami. Ketika orang-orang Romawi memeluk Nashrani pada abad ke-4 M, mereka tetap meneruskan tradisi nenek moyang mereka yang melarang poligami. Jadi, peraturan monogami sesungguhnya secara normatif bukanlah ajaran agama Nashrani, melainkan peraturan lama yang secara sosiologis sudah berlaku lama sejak orang Yunani dan Romawi menganut agama berhala (paganisme).

Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai norma agama Nashrani, padahal lembaran-lembaran Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami sama sekali. (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/157; H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, hal. 79-80; Ahmed Deedat, The Choice Dialog Islam-Kristen, hal. 85-88; David C. Pack, The Truth About Polygamy, http://www.thercg.rg).

Inilah sekilas penjelasan sejarah pro-kontra poligami di tubuh umat Islam, termasuk sejarah poligami itu sendiri di Eropa. Siapa saja yang mendalami masalah poligami dari sudut historisnya, akan sampai pada kesimpulan serupa ini.

Kesimpulannya, serangan terhadap poligami adalah bagian dari Perang Pemikiran (al-Ghazwul Fikri) antara kaum imperiais Barat yang Kristen dan berideologi kapitalisme-sekular di satu sisi, dengan kaum muslimin yang meyakini Islam sebagai ideologi di sisi lain.

Sayangnya, Perang Pemikiran itu nampaknya dimenangkan oleh imperialis Barat yang kafir, dengan dukungan kaum intelektual liberal dan para penguasa sekuler. Buktinya banyak negeri Islam yang melarang atau membatasi poligami. Misalnya, Tunisia (UU Status Pribadi tahun 1957), Maroko (UU Tahun 1958), Irak (UU tahun 1960), Pakistan (Ordonansi Hukum Keluarga Muslim Tahun 1961), Indonesia (UU 1/1974), Mesir (UU Jihan Tahun 1979, tapi dianulir 1985), dan sebagainya. (Lihat Noel J. Coulson, ibid.; Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, [Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005], hal. 140).

Negeri-negeri Islam yang melarang poligami ini sesungguhnya bukan sedang mengamalkan ajaran Islam, melainkan sedang bertaqlid buta kepada imperialis Barat yang Kristen, untuk menjalankan ajaran semu Kristen yang anti poligami, dengan justifikasi palsu dari al-Quran dan as-Sunnah yang direkayasa oleh kaum modernis yang menjadi agen-agen Barat. Inilah hakikat yang ada, tidak ada yang lain.

3. Motif Politik Di Balik Larangan Poligami

Berdasarkan tinjauan sejarah di atas, kita akan dapat mengungkap motif hakiki di balik pembatasan atau larangan poligami oleh para penguasa di negeri-negeri Islam, tak terkecuali di negeri ini. Motif ini diungkap dengan gamblang oleh Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360.

Motifnya kata beliau, adalah menata ulang institusi keluarga di negeri Islam mengikuti model institusi keluarga di Eropa, khususnya Eropa pada masa modern setelah mengalami revolusi pemikiran (Enlightenment) abad ke-17 M. (liyu’ida tanzhima al-usrati fi al-mujtama’ al-Islami ‘ala ghirari tanzhimi al-usrati fi al-mujtama’ al-gharbiy). Dengan kata lain, motif sesungguhnya adalah ingin menghancurkan institusi keluarga muslim untuk digantikan dengan model institusi keluarga kaum penjajah yang kafir.

Itulah motif sesungguhnya, walaupun penguasa bermanis kata dan mengumbar propaganda bahwa pembatasan poligami adalah karena ingin "melindungi perempuan." Atau dalih-dalih palsu lainnya. Bohong! Omongan semacam ini hanyalah tipu daya agar umat Islam terkecoh dan mau secara ikhlas diatur oleh undang-undang batil yang substansinya adalah tradisi Barat yang kafir yang diberi justifikasi palsu berupa dalil-dalil agama yang sudah diputarbalikkan secara jahat oleh kaum modernis-liberal.

Institusi keluarga Eropa, tentu bukan model ideal bagi institusi keluarga muslim. Keduanya merupakan dua entitas berbeda, karena keduanya mempunyai identitas, norma, dan sejarah yang berbeda dan bahkan bertolak belakang. Institusi keluarga Eropa yang monogami dibentuk oleh ajaran Kristen (Gereja). Perilaku seks bebas seperti perzinahan, homoseksual, lesbianisme, inses, bukanlah dianggap aib di Eropa. Anak-anak zina pun dianggap sebagai kewajaran dan dimaklumi dalam kehidupan bermasyarakat.

Itu sangat berbeda dengan institusi keluarga muslim. Institusi keluarga muslim menjalankan pernikahan yang syar’i baik itu monogami maupun poligami berdasarkan ajaran Islam. Perilaku seks bebas seperti perzinahan, homoseksual, lesbianisme, dan inses diharamkan dan diberi sanksi yang tegas. Sedang anak-anak zina dianggap aib dalam masyarakat Islam. (Abdurrahim Faris Abu Lu’bah, Syawa`ib al-Tafsir, hal. 360-361).

Dengan diberlakukannya peraturan perundangan yang membatasi poligami, berarti telah dilakukan secara sengaja proses transformasi sosial untuk merombak institusi keluarga yang Islami menjadi institusi keluarga yang mengikuti gaya hidup Barat. Persoalannya, relakah Anda yang muslim dipaksa menjalani gaya hidup Barat yang kafir? Apakah penguasa tidak lagi punya mata, telinga, dan nurani sehingga tidak tahu betapa bejat dan rusaknya masyarakat dan institusi keluarga di Barat? Apakah mereka tidak tahu 75 % anak-anak Inggris adalah anak zina? Apakah mereka tidak tahu sepertiga (31 %) masyarakat Amerika yang sudah berumah tangga melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain? Apakah mereka tidak tahu, mayoritas orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain adalah sah-sah saja dilakukan? Apakah masyarakat dan keluarga bejat seperti ini yang menjadi cita-cita para penguasa sekuler saat ini? (Lihat James Patterson & Peter Kim, The Day American Told the Thruth, New York : Plume Book, 1991).

Jika penguasa negeri Islam menerapkan secara paksa berbagai aturan Barat atas rakyatnya sendiri yang muslim, seperti pembatasan poligami, maka terjadilah apa yang oleh Dr. Shabir Tha’imah disebut "penjajahan modern" (al-isti’mar al-hadits). Istilah ini, kata beliau, muncul di kalangan bangsa-bangsa lemah yang terjajah dalam bentuk baru pasca Perang Dunia II. Penjajahan modern pada hakikatnya adalah dominasi, orientasi, dan eksploitasi melalui anak-anak negeri sendiri, yang dulunya negeri itu di bawah cengkeraman penjajahan, lalu anak-anak negeri sendiri itu bertindak seperti penjajah sebelumnya dengan tangan besi (wa huwa laysa fi haqiqatihi illa as-saytharah wa at-tawjih wa al-istitsmar ‘an thariq abna’ al-balad alladziy kaanat fiihi qabdhah al-isti’mar wa ta’mal amalaha biquwwati al-hadid wa an-nar). (Dr. Shabir Tha’imah, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami, [Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984], hal. 50).

Dengan demikian, kalau umat Islam dulu sebelum Perang Dunia II dijajah secara langsung oleh Barat yang kafir, maka kini pasca Perang Dunia II umat Islam dijajah oleh para penguasanya sendiri yang menjadi kepanjangan tangan dari Barat yang kafir. Itulah hakikat yang terjadi tatkala penguasa menerapkan peraturan dari Barat (seperti pembatasan poligami) atas umat Islam dengan kekuatan dan paksaan. Inilah yang disebut penjajahan modern itu.

4. Hukum Poligami dalam Islam

Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu perbuatan mubah (boleh), bukan sunnah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam hal. 129 :
"Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah (boleh), yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan demikian."

Dasar kebolehan poligami tersebut karena Allah SWT telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini. Firman Allah SWT (artinya) :
"Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat." (QS an-Nisaa’ [4]: 3)

Imam Suyuthi menjelaskan bahwa pada ayat di atas terdapat dalil, bahwa jumlah isteri yang boleh digabungkan adalah empat saja (fiihi anna al-‘adada alladziy yubahu jam’uhu min al-nisaa’ arba’ faqath) (Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 59).

Sababun nuzul ayat ini, bahwa Urwah bin Zubair RA bertanya kepada ‘Aisyah tentang ayat QS An-Nisaa` : 3 yang artinya :
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya." (QS an-Nisaa’ [4]: 3).

Maka ‘Aisyah menjawab,"Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya. Tapi pengasuh itu tidak mau memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini anak-anak yatim itu kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kawin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (terj), VI/136-137).

Namun demikian, kebolehan poligami pada ayat di atas tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim, sebagaimana khayalan kaum liberal yang bodoh. Sebab sebagaimana sudah dipahami dalam ilmu ushul fiqih, yang menjadi pegangan / patokan (al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional ayat yang bersifat umum (fankihuu maa thaaba lakum mina an-nisaa`... dst), bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan anak yatim). Jadi poligami boleh dilakukan baik oleh orang yang mengasuh anak yatim maupun yang tidak mengasuh anak yatim. Kaidah ushul fikih menyebutkan :
Idza warada lafzhul ‘umuum ‘ala sababin khaashin lam yusqith ‘umumahu
"Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah menggugurkan keumumannya." (Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995], Juz II hal. 123).

Beberapa hadits menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW telah mengamalkan bolehnya poligami berdasarkan umumnya ayat tersebut, tanpa memandang apakah kasusnya berkaitan dengan pengasuhan anak yatim atau tidak. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia punya sepuluh isteri, "Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikanlah yang lainnya!" (HR Malik, an-Nasa’i, dan ad-Daruquthni). 

Diriwayatkan Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW, "Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda, "Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud). (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/139).

Kebolehan poligami ini tidaklah tepat kalau dikatakan "syaratnya harus adil." Yang benar, adil bukan syarat poligami, melainkan kewajiban dalam berpoligami. Syarat adalah sesuatu sifat atau keadaan yang harus terwujud sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan (masyrut). Wudhu, misalnya, adalah syarat sah shalat. Jadi wudhu harus terwujud dulu sebelum sholat. Maka kalau dikatakan "adil" adalah syarat poligami, berarti "adil" harus terwujud lebih dulu sebelum orang berpoligami. Tentu ini tidak benar. Yang mungkin terwujud sebelum orang berpoligami bukanlah "adil" itu sendiri, tapi "perasaan" seseorang apakah ia akan bisa berlaku adil atau tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil, maka di sinilah syariah mendorong dia untuk menikah dengan satu isteri saja (fa-in khiftum an-laa ta’diluu fa waahidah, "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja) (QS an-Nisaa` : 3).

Adapun keadilan yang merupakan kewajiban dalam poligami sebagaimana dalam QS an-Nisaa` : 3, adalah keadilan dalam nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah tujuannya adalah mencukupi kebutuhan para isteri yaitu mencakup sandang (al-malbas), pangan (al-ma`kal), dan papan (al-maskan). Sedang mabit, tujuannya bukanlah untuk jima’ (bersetubuh) semata, melainkan untuk menemani dan berkasih sayang (al-uns), baik terjadi jima’ atau tidak. Jadi suami dianggap sudah memberikan hak mabit jika ia sudah bermalam di sisi salah seorang isterinya, walaupun tidak terjadi jima’ (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-217).

Yang dimaksud "adil" bukanlah "sama rata" (secara kuantitas) (Arab : al-taswiyah), melainkan memberikan hak sesuai keadaan para isteri masing-masing. Namun kalau suami mau menyamakan secara kuantitas juga boleh, namun ini sunnah, bukan wajib. Isteri pertama dengan tiga anak, misalnya, tentu kadar nafkahnya tidak sama secara kuantitas dengan isteri kedua yang hanya punya satu anak. Dalam hal mabit (bermalam), wajib sama secara kuantitas antar para isteri. Namun isteri yang sedang menghadapi masalah misalnya sedang sakit atau stress, dapat diberi hak mabit lebih banyak daripada isteri yang tidak menghadapi masalah, asalkan isteri lainnya ridha. (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-208; Lihat secara khusus cara berlaku adil terhadap isteri-isteri dalam Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press], 2006).

Adapun "adil" dalam QS an-Nisaa’ : 129 yang mustahil dimiliki suami yang berpoligami, maksudnya bukanlah "adil" dalam hal nafkah dan mabit, melainkan adil dalam "kecenderungan hati" (al-mail al-qalbi). Allah SWT berfirman (artinya) :
"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS an-Nisaa’ [4] : 129).

Imam Suyuthi menukil pendapat Ibnu Abbas RA, bahwa "adil" yang mustahil ini adalah : rasa cinta dan bersetubuh (al-hubb wa al-jima’) (Lihat Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 83).

Sayyid Sabiq menukilkan riwayat, bahwa Muhammad bin Sirin berkata, "Saya telah mengajukan pertanyaan dalam ayat ini kepada ‘Ubaidah. Jawabnya, ’Yaitu dalam cinta dan bersetubuh.'" (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/143).

Maka tidaklah benar pendapat kaum liberal yang mengharamkan poligami berdasarkan dalil ayat di atas (QS 4 : 129) yang dikaitkan dengan kewajiban adil dalam poligami (QS 4 : 3). Mereka katakan, di satu sisi Allah mewajibkan adil, tapi di sisi lain keadilan adalah mustahil. Lalu dari sini mereka menarik kesimpulan bahwa sebenarnya poligami itu dilarang alias haram. Mereka menganggap keadilan pada dua ayat tersebut adalah keadilan yang sama, bukan keadilan yang berbeda. Padahal yang benar adalah, keadilan yang dimaksud QS 4:3 berbeda dengan keadilan yang dimaksud dengan ayat QS 4:129.

Pemahaman kaum liberal tersebut tidak benar, karena implikasinya adalah, dua ayat di atas akan saling bertabrakan (kontradiksi) satu sama lain, di mana yang satu meniadakan yang lain. Padahal Allah SWT telah menyatakan tidak adanya kontradiksi dalam Al-Qur`an. Allah SWT berfirman :
"Kalau sekiranya al-Qur`an itu dari sisi selain Allah, niscaya akan mereka dapati pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS an-Nisaa` [4] : 82).

5. Mengkritisi Beberapa Penolakan Poligami

Berikut ini bantahan terhadap beberapa penolakan terhadap bolehnya poligami.

5.1. Katanya Poligami Hanya Boleh Dalam Kondisi Darurat
Ada orang yang menolak poligami dengan ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door" (pintu keluar darurat). Ini tidak benar dan tidak sesuai dengan pengertian darurat dalam fiqih dan ushul fiqih. Darurat menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’, adalah "sampainya seseorang pada suatu batas (kondisi) yang jika dia tidak mengerjakan yang haram, maka dia akan mati atau hampir mati" (wushuuluhu haddan in lam yatanawal al-mamnu’ halaka aw qaaraba). Ini artinya, seorang laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah payah sekali keadaannya, yakni hampir mati kalau tidak berpoligami. Kasihan sekali. Ini tentu menggelikan dan tidak benar.

Pendapat yang membolehkan poligami dalam kondisi darurat berarti menganggap poligami itu hukum asalnya haram (seperti daging babi), dan baru dibolehkan (sebagai hukum rukhshah) jika tak ada jalan keluar selain poligami. Padahal hukum asal poligami bukan haram, tapi mubah. Inilah yang benar.

5.2. Katanya Nabi Melarang Ali bin Abi Thalib Poligami
Ada orang yang mengharamkan poligami dengan alasan Rasulullah SAW telah melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami. Suatu saat Ali yang sudah beristerikan Fatimah meminta izin kepada lalu Rasulullah SAW untuk menikah lagi dengan putri Abu Jahal, lalu Rasulullah SAW bersabda : "Tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib rela untuk menceraikan putriku dan menikahi putrinya Abu Jahal. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, menyenangkan aku apa yang menyenangkannya, menyakitiku apa yang menyakitinya."

Jika dilihat sampai disini, seolah-olah Rasulullah SAW mengharamkan poligami. Kaum liberal yang curang biasanya hanya menyampaikan hadits di atas tanpa melihat hadits yang sama dari jalur periwayatan yang lain. Padahal dalam jalur riwayat lain ada pernyataan Nabi SAW yang justru sangat penting kaitannya dengan status hukum poligami. Sabda lalu Rasulullah SAW tersebut : "Sungguh aku tidaklah mengharamkan sesuatu yang halal, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah dalam suatu tempat selama-lamanya." (HR Bukhari)

Sabda Rasul yang terakhir ini dengan jelas menunjukkan bahwa poligami itu adalah halal, bukan haram. Jadi larangan Rasul kepada Ali yang ingin memadu Fatimah dengan putri Abu Jahal bukanlah karena Rasulullah SAW mengharamkan poligami, melainkan karena lalu Rasulullah SAW tidak senang Ali mengumpulkan putri Rasulullah SAW dengan putri musuh Allah di bawah lindungan seorang lelaki. Ini dapat dipahami dari kalimat selanjutnya yaitu "Akan tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam suatu tempat selama-lamanya".

Bahkan Ali sendiri sebenarnya berpoligami, setelah meninggalnya Fathimah. Ibnu Uyainah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai empat isteri dan 19 budak perempuan, setelah wafatnya Fatimah RA (Imam Suyuthi, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, [Beirut : Dar Amwaj, 1989, hal 17]

5.3. Katanya Poligami Yang Menimbulkan Bahaya (Dharar) Haram
Ada orang yang mencoba menolak poligami berdasarkan survei dari data-data empiris yang menjelaskan berbagai bahaya (dharar) dari poligami, misalnya percekcokan antar isteri, rawan penyakit seksual, dan sebagainya.

Secara metodologis (ushul fiqih), cara berpikir itu salah, sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai satu-satunya alat untuk mengetahui status hukum syara’. Padahal akal tidak dapat secara independen memutuskan halal-haramnya sesuatu hanya bertolak dari fakta-fakta empiris semata. Akal tugasnya adalah memahami teks wahyu, bukan untuk menyimpulkan status hukum secara mandiri terlepas dari teks.

Di sinilah tepat sekali Imam Ghazali mengatakan, "Al-Ahkam as-sam’iyah laa tudraku bi al-‘aql," (Hukum-hukum syar’i tidaklah dapat dijangkau dengan akal semata) (Imam Ghazali, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul, Juz I hal. 127).

Ada pula yang menggunakan data-data tersebut untuk menolak poligami, dengan ditambah argumen berupa kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak kerusakan, lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan). Jadi, pendapat itu menyatakan poligami harus dilarang, karena melarang poligami artinya adalah menolak kerusakan, yang harus didahulukan daripada mencari kemaslahatan, yaitu melakukan poligami).

Pendapat itu batil. Sebab pengamalan kaidah fiqih itu dapat dikatakan sebagai ijtihad. Padahal ijtihad tidak berlaku jika ada nash yang qath’i (pasti) dalam suatu masalah. Kaidah fikih menyebutkan laa ijtihaada fi maurid al-nash (Tidak boleh melakukan ijtihad pada saat ada nash yang qath’i). Dalam hal ini telah ada nash yang qath’i yaitu QS 4:3 yang membolehkan poligami. Jika ada nash yang qath’i, tidak boleh lagi berijtihad pada nash yang qath’i itu, apalagi sampai hasil ijtihadnya membatalkan hukum dalam nash qath'i itu.

Tindakan yang benar seharusnya bukan melarang poligami, melainkan meluruskan penyimpangan dalam berpoligami, atau menghilangkan bahaya yang muncul dalam berpoligami. Kaidah fiqih menyebutkan adh-dharaar yuzaalu syar’an (Segala bahaya wajib secara syar’i untuk dihilangkan). Jadi, kalau dalam berpoligami seorang suami berbuat zalim, misalnya tidak adil dalam nafkah, atau suka memukul isteri, maka yang dilakukan bukan membubarkan poligami, melainkan mengadukan masalah tersebut kepada hakim (peradilan Islam). Hakim dapat memberikan sanksi syar’i (ta’zir) kepada suami dan mewajibkan suami agar memenuhi hak-hak isteri. Ibaratnya, kalau mobil kita rusak, misalnya AC rusak atau ban bocor, solusinya bukanlah membuang mobil itu. Tapi bawalah mobil itu ke bengkel dan perbaikilah. Inilah yang haq.

6. Penutup

Sesungguhnya hukum Allah dalam masalah poligami sudah sangat jelas dan tidak perlu kita terlalu bertele-tele untuk menerangkan kebolehannya. Yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula.

Namun bagaimana pun juga, kita harus sadar bahwa akan selalu ada sebagian umat Islam yang bertaqlid buta dan membebek kepada kaum kafir. Ketika kaum kafir menolak poligami dan membolehkan zina, akan selalu ada di antara umat Islam ini yang mengikuti jalan hidup sesat tersebut. Yakni dengan mempersulit atau melarang poligami, dan sebaliknya membiarkan zina. Jadi, tidak usah terlalu heran. Mereka memang ada.

Mereka itu saat ini adalah kelompok liberal dan penguasa sekuler yang mengabdikan dirinya secara tulus kepada kaum penjajah yang kafir. Mereka inilah yang harus selalu kita waspadai agar umat terlindung dari tipu daya mereka yang sangat keji. Karena mereka mempropagandakan paham kufur dengan dalil-dalil agama yang dimanipulasi untuk kepentingan penjajah. Kejahatan kaum liberal dan penguasa sekuler ini wajib kita hentikan dan kita hancurkan.

Marilah kita renungkan dengan seksama sabda Rasulullah SAW : "Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan (hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkjal, sehasta demi sehasta, hingga kalau pun mereka masuk ke lubang biak, kamu akan mengikuti mereka. Kami [para sahabat] berkata,’Wahai Rasulullah, [apakah mereka itu] orang Yahudi dan Nashrani?’ Rasulullah menjawab,"Lalu siapa [kalau bukan mereka]?" (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu a'lam. [ ]

= = = = = = =
*Disampaikan dalam Kajian Tsaqofah Islam, dengan tema Poligami dalam Tinjauan Historis, Politis, dan Normatif, Jumat 6 Nopember 2009, di STEI Hamfara Yogya, diselenggarakan oleh HTI Chapter Kampus Kota Yogya bekerjasama dengan Pesantren Hamfara Yogya.

**KH. Ir. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, MSI. Alumnus Jurusan Biologi Fakultas MIPA IPB (S-1) dan Magister Studi Islam UII Yogyakarta (S-2). Pernah nyantri di PP Nurul Imdad dan PP Al-Azhar, Bogor. Sekarang Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, konsultan hukum Islam di tabloid Media Umat Jakarta (www.mediaumat.com), dosen tetap STEI Hamfara Yogya, dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogya.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Lu'bah, Abdurrahim Faris, Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri, (Disertasi Doktor), Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah Kulliyah Asy-Syariah li Dar al-Fatwa Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005

Alhamdani, H.S.A, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam

Al-Jaziry, Abdurrhaman, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut : Darul Fikr), 1996

Al-Khalidi, Musthafa & Farrukh, Umar, al-Tabsyir wa al-Isti’mar fi al-Bilad al-Arabiyah, (Beirut : al-Maktabah al-'Arabiyah), 1986

Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdus Salam, Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Rahin,(Beirut : Darul Bayariq), 1992
Amal, Taufik Adnan & Panggabean, Samsu Rizal, Politik Syariat Islam, (Jakarta : Pustaka Alvabet), 2005

Apa Salah Caleg Poligami? http://www.inilah.com/berita/2009/03/30/94497/apa-salah-caleg-poligami/

As-Sanan, Ariij Binti Abdurrahman, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), (Jakarta : Darus Sunnah Press), 2006

Baharun, Mohammad, Isu Zionisme Internasional

Coulson, Noel J, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk (Ed.), Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES), 1990

Deedat, Ahmed, The Choice Dialog Islam-Kristen

Ghazali, Imam, Al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul

Jameelah, Maryam, Islam and Modernism, (Lahore : Muhammad Yusuf Khan and Sons), 1988

Institut Perempuan Tolak Klub Poligami Indonesia, http://www.antaranews.com/berita/1255951529/institut-perempuan-tolak-klub-poligami-indonesia

Klub Poligami Indonesia Diresmikan, http://www.antaranews.com/berita/1255861125/klub-poligami-indonesia-diresmikan
Koalisi Laki-laki Anti Poligami Tandingi Klub Poligami, 

http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2009/11/01/brk,20091101-205673,id.html

Pack, David C., The Truth About Polygamy, http://www.thercg.rg

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunah, Jilid VI, (Bandung : PT Almaarif), 1983

Said, Busthami Musthofa, Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhum Tajdid al-Din), (Bekasi : Wacanalazuardi Amanah), 1996

Tha’imah, Shabir, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami, (Beirut : ‘Alam al-Kutub), 1984

Suyuthi, Imam, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, (Beirut : Dar Amwaj), 1989
----------, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’, (Semarang : Usaha Keluarga), tanpa tahun

December 24, 2018

Menyiapkan Masa Depan Anak dengan Iman dan Ilmu

sakinah - menyiapkan masa depan anak
sakinah.web.id - Roda kehidupan akan senantiasa berputar dan berubah. Ini merupakan sebuah keniscayaan yang mesti dialami oleh setiap insan. Dulu, sewaktu kecil kitalah yang meminta uang jajan, kini – bagi yang sudah berumah tangga - kitalah yang dimintai uang jajan. Dulu, kita diantar orang tua berangkat ke sekolah. Kini, giliran kita yang mengantar anak ke sekolah. Dulu, kita yang merengek meminta agar bisa ikut study tour. Sekarang, kitalah yang direngek anak untuk keperluan yang sama. 

Merupakan sebuah keniscayaan pula, anak kita akan semakin membesar dan beranjak dewasa kemudian menggantikan posisi kita. Di saat anak kita berganti peran menjadi orang tua, bagaimanakah posisi kita dan di manakah kita? Kondisi kita pasti semakin menua, bahkan mungkin sudah tiada lagi di dunia, mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan perbuatan. Termasuk dalam hal pengurusan dan pendidikan anak. Saat orang tua tiada, maka sudah sudah tidak lagi mampu menolong dan membantu anak-anaknya.

December 21, 2018

Penyebab Keretakan Keluarga (Broken Home)

Sakinah Broken Home
Menurut Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis dalam Konseling Keluarga, Penyebab keretakan keluarga, ada dua faktor besar Yakni:

Faktor Internal. Yaitu berupa
  1. Beban Psikologis ayah / ibu yang berat (Psycological overload) seperti tekanan (stress) di tempat kerja dan kesulitan keuangan keluarga.
  2. Tafsiran dan perlakuan terhadap perilaku marah-marah dan sebagainya
  3. Kecurigaan suami/isteri bahwa salah satu diantara mereka diduga berselingkuh dan lain-lain,
  4. Sikap egoistis dari salah satu orang tua misalnya suka mengatur suami atau isteri, otoriter, kurang suka berdialog atau berdiskusi tentang masalah, lalu orang tua (ayah/ibu) mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah, sehingga menyinggung perasaan anggota keluarga yang lain

Faktor Ekternal. Yaitu berupa:
  1. Campur tangan pihak ketiga dalam masalah keluarga terutama hubungan suami-isteri dalam bentuk issue-issue negatif yang ditiupkan secara sengaja atau tidak
  2. Pergaulan yang negatif anggota keluarga, dalah hal ini perilaku dari luar dikembangkan atau berdampak negatif terhadap keluarga seperti kecanduan narkoba, sehingga sering mencuri uang dan harta orang tua. berbagai penyakit yang diidap kepala keluarga seperti AIDS, sphylis, dan gonorhoe dapat dengan mudah menular kepada isteri.
  3. Kebiasaan isteri bergunjing di rumah orang lain, akan membawa issue-issue negatif ke dalam keluarga. dampaknya mungkin akan terjadi pertengkaran suami-isteri sebagai hasil tandang ke rumah orang lain.
  4. Kebiasaan berjudi akan berakibat kekacauan keluarga. 
Dengan mengetahui penyebab keretakan keluarga, semoga bisa kita antisipasi lebih dini atau bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan problem-problem keluarga.

Mabsus Abu Fatih

_________________________________
Sosial Media Sakinah.web.id = Twitter I Facebook I Instagram I Channel Telegram


December 11, 2018

Saudara Ipar Adalah Kematian

saudara ipar adalah kematian
Oleh : Al-Ustadz M Taufik Nusa T

Pagi tadi (8/12) saat mengisi pengajian yang membahas tentang pergaulan pria dan wanita, seorang bapak bercerita tentang seorang dokter pria di Banjarmasin. Karena secara materi berkelebihan, dia mengajak adik lelakinya untuk tinggal bersama di rumahnya, sekaligus menemani dan menyopiri mobil istrinya. Lama-lama terungkap bahwa adik lelakinya bukan hanya menyopiri mobil istrinya, namun juga ‘menyopiri’ istrinya. Mereka akhirnya bercerai, dokter tersebut membeli rumah baru, sementara mantan istrinya menikah dengan adiknya.

Kejadian yang kurang lebih sama juga terjadi di pelosok Kalimantan Selatan. Bedanya, sang istri yang membawa adik perempuannya tinggal bersama dia dan suaminya. Suatu ketika gegerlah rumah tersebut karena adiknya yang belum menikah ternyata hamil, dan pelakunya ternyata adalah suaminya sendiri. Setelah diteliti, ternyata perselingkuhan itu telah berlangsung lama, 7 tahun!.

Kerudung Wajib Diulurkan Menutupi Dada, Tidak Boleh Dimasukkan Ke Dalam Kerah Baju

sakinah - kerudung dan jilbabSoal :

Ustadz, di tivi sering sekali saya lihat selebritis atau presenter yang kerudungnya diikat ke belakang atau dimasukkan ke dalam baju. Jadi, kerudungnya tidak diulurkan ke dada. Apakah ini dibolehkan? (N, Yogyakarta)

Jawab :

Sebenarnya memakai kerudung dengan cara seperti itu, yakni kerudungnya tidak diulurkan ke dada, adalah tidak benar dan tidak boleh. Sebab cara tersebut menyimpang dari ketentuan al-Qur`an yang mewajibkan mengulurkan kerudung ke atas dada (QS An-Nuur : 31).

JJadi, jika seorang muslimah tidak mengulurkan kerudungnya ke dada, tapi malah mengikatnya ke belakang (mengelilingi leher) atau memasukkannya ke dalam baju, berarti dia meninggalkan kewajiban dan berdosa. Meskipun dada mereka sudah tertutup oleh kain dari baju.

December 5, 2018

Semut Apa yang Badannya Kecil Kepalanya Gede?

semut kepala besar
eluarga memiliki beberapa fungsi yang semestinya berjalan. Ada fungsi ekonomi, tempat anggota keluarga memenuhi keburuhan ekonominya. Ada fungsi religi dimana keluarga bisa mendorong anggota keluarganya menjalankan kewajiban agamanya. Ada fungsi sosial di mana anggota keluarga bisa memiliki status sosial yang jelas di masyarkat. Fungsi afektif dimana angggota keluaga bisa mendapatkan perlindungan di dalamnya. Dan juga fungsi rekreatif, dimana keluarga bisa menjadi menjadi tempat hiburan bagi tiap anggota keluarganya. Bila fungsi rekreatif ini berjalan berjalan, maka anak akan merasa betah tinggal di rumah,  Istri maupun suami juga merasa nyaman tinggal di rumah.

Tanda Hilangnya Kejantanan Para Suami

Oleh : Ust Iwan Januar

Kejantanan Suami
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (TQS. An-Nisa: 34).

Laiknya sebuah organisasi, sebuah keluarga juga memiliki hierarki kepemimpinan. Lelaki oleh Allah SWT. telah ditunjuk sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Di kepala suami harus ada kebijakan dan keputusan untuk keluarganya, dimana istri dan anak-anaknya harus menaati dan menghormati keputusannya.

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya menyatakan bahwa lelaki itu adalah ahli penegak kepemimpinan atas istri-istri mereka, dalam mendidik dan menempatkan para istrinya dalam perkara yang telah diwajibkan Allah atas diri mereka.

Sementara itu adh-Dhahak menyatakan bahwa lelaki pemimpin bagi wanita adalah suami menyuruh mereka untuk taat pada Allah, lalu jika para istri mereka membantah maka suami berhak memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai (ghairu mubarrih).

Sayang tidak semua lelaki kemudian sanggup dan berani menegakkan qawwam pada istri-istri mereka. Sebagian dari mereka justru berada di bawah bayang-bayang istri, tak berkutik pada keputusan istri, dan malah menggantungkan hidup pada istrinya. Entah dengan alasan cinta dan kasih sayang, atau karena memang lemah kepribadian para lelaki itu.

Padahal hilangnya kepemimpinan/qawwam pada diri seorang suami bukan saja menghancurkan harga dirinya, tapi juga merusak citra seorang ayah di hadapan anak-anaknya. Juga yang paling pokok, Allah murka kepada para lelaki yang menggadaikan qawwam pada istrinya. Nabi SAW. Bersabda:

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلَاءُ

“Jika umatku melakukan 15 perkara, maka bencana akan menimpa mereka.”

Dan 2 dari 15 tanda tersebut adalah:

وَأَطَاعَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ وَعَقَّ أُمَّهُ ، وَبَرَّ صَدِيقَهُ وَجَفَا أَبَاهُ

“…dan seorang pria tunduk kepada istrinya dan durhaka kepada ibunya, berbuat baik kepada temannya tetapi kasar kepada ayahnya…” (HR Tirmizi).

Hancurnya pernikahan di zaman sekarang ini diantaranya karena hilangnya qawwam suami di atas istri-istrinya. Ia jadi lelaki yang lemah jiwanya, tak punya emosi dan tak bisa mengendalikan istri-istrinya. Rumah tangga seperti itu, andaipun tetap bertahan, sesungguhnya bukan rumah tangga yang barakah dan diridloi Allah, sekalipun suami-istri yang menjalankan pernikahan itu merasa ridlo. Karena tak ada nilainya keridloan manusia bila bertabrakan dengan ridlo Allah SWT., alias menentang hukum-hukum Allah SWT.

Ada beberapa tanda suami telah hilang fungsi qawwam yang harus diwaspadai oleh kaum pria, diantaranya:

1.  Suami tak sanggup menundukkan istri agar taat pada hukum Allah SWT. Berapa banyak hari ini suami yang membiarkan istrinya menelantarkan shalat, terlibat muamalah ribawi, tidak mau menutup aurat saat keluar rumah. Para suami yang lemah seperti ini sering beralasan kalau beragama itu tak bisa dipaksakan, harus karena kesadaran istri. Para lelaki seperti ini hakikatnya lelaki yang lemah, mereka tersandera oleh perasaan cinta dan takut kehilangan istri-istri mereka, sehingga memilih diam ketika hukum Allah dilawan oleh istri-istri mereka. Padahal Allah SWT. sudah memerintahkan para suami untuk menta’dib/meluruskan kemungkaran-kemungkaran istri mereka sesuai perintahNya:

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (An-Nisaa: 34)

 2.   Suami menjadi pria dayyuts, yaitu pria yang tak punya cemburu pada istri-istri mereka. Diam saja istrinya keluar rumah tak menutup aurat dengan sempurna, bergaul dan chatting penuh canda dengan lelaki bukan mahram, tak marah istrinya dipanggil dengan panggilan mesra oleh lelaki lain, termasuk membiarkan istrinya dipegang, dipeluk oleh pria lain.

Suami-suami macam ini bukan saja kehilangan fungsi qawwam, tapi juga dibenci Allah karena sudah menjadi lelaki dayyuts. Nabi SAW. bersabda:

ثَلاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِمُ الْجَنَّةُ : مُدْمِنُ الْخَمْرِ ، وَالْعَاقُّ ، وَالدَّيُّوثُ ، وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ

“Tiga golongan yang Allah haramkan bagi mereka jannah: orang yang kecanduan khamr, pendurhaka kedua orang tua, dan lelaki dayyus, dayyus itu adalah yang tidak mempedulikan kemaksiatan di tengah istri dan anak perempuannya.”(HR. Ahmad)

Dalam riwayat Imam Bayhaqiy diterangkan lelaki dayyuts adalah yang tidak peduli istri atau anak perempuannya bergaul dengan lelaki mana saja.

3.   Suami tak berdaya menjalankan ketaatan pada Allah karena rongrongan istri. Ada suami yang begitu rusak fungsi qawwam-nya sampai ia tak bisa menjalankan kewajiban di jalan Allah, bahkan sampai menabrak perkara yang sudah diharamkanNya. Sampai suami meninggalkan dakwah, mengkaji ilmu agama, bahkan ibadah. Ada juga istri yang sampai bisa membuat suami terjerumus pada muamalah haram seperti riba. Kesalahan utama jelas terletak di pundak suami karena merekalah yang semestinya mengendalikan, memimpin bahkan menghukum istri yang membangkang dari perintah Allah dan suami. Kenyataannya ada suami yang justru bertekuk lutut di hadapan istri, sampai-sampai meninggalkan ketaatan pada hukum Allah.

4.   Suami yang memutuskan silaturahim dengan keluarga, bahkan durhaka pada kedua orang tua. Lelaki yang telah punah fungsi qawwam-nya dicirikan dengan tak berdaya menghadapi rongrongan istri agar menjauh dari kedua orang tua dan keluarga asalnya. Ada lelaki yang sebegitu lemah sampai-sampai lebih memilih bermusuhan dengan keluarga besar, bahkan ayah dan ibunya, ketimbang melawan rongrongan istri. Kemungkaran inilah yang telah diingatkan Rasulullah SAW. akan mendatangkan petaka bagi umat Muslim, saat para lelaki kehilangan peran qawwamnya dalam keluarga.

5.   Membiarkan istri menelantarkan kewajiban rumah tangga seperti melayani suami dan mengurus anak-anak. Pembiaran atas kewajiban istri ini adalah tanda matinya fungsi qawwam pada diri seorang pria. Ada suami yang diam saja membiarkan istrinya membiarkan rumah berantakan, anak-anak tak terurus, bahkan kebutuhan kelelakiannya ditolak istri. Ada yang istrinya sibuk dengan kegiatan sosialita, bisnis, karir, atau pengajian, lalu menomorsekiankan kewajiban rumah tangga, dan suami membisu. Ini suami yang sudah tak punya lagi kewibawaan di depan istrinya.

Ada juga yang tak berkutik karena istrinyalah yang banyak memberikan nafkah pada keluarga sehingga sang suami tak berani menuntut kewajiban istri.

Masih banyak lagi hal yang menandakan seorang pria telah mati fungsi qawwam-nya atas istri-istri mereka, semisal membiarkan istri keluar rumah tanpa izin, berpuasa sunnah tanpa restu suami, dll. Kaum lelaki sudah seharusnya muhasabah pada diri mereka; apakah sudah benar-benar menegakkan qawwam pada keluarga, atau justru merobohkannya. Semoga Allah melindungi para suami dan keluarga kaum muslimin.

Sumber : iwanjanuar.com

December 4, 2018

4 Sikap Penghancur Hubungan Perkawinan

perkawinan hancur
Aku menyesal menikah dengan kamu, kalau dulu aku memilih menikah dengan si Anu pasti hidupku sudah kaya-raya dan bahagia.”

Pernahkah kita mendengar orang lain mengatakan kepada pasangan hidupnya perkataan seperti di atas?. Atau justru kamu sendiri yang pernah mendapatkan perkataan demikian? Atau justru kamulah yang pernah mengatakan demikian?

November 29, 2018

Wajah Kurang Menarik, Inilah 10 Langkah Mendapatkan Jodoh

sakinah - langkah mendapatkan jodoh
Harus diakui, wajah yang kurang menarik menjadi salah satu faktor yang menghambat datangnya jodoh. Meski pada sebagian orang, menarik tidaknya wajah tidaklah menjadi faktor penting dalam memilih pasangan. Namun, orang yang berprinsip demikian sangat langka.

Berdasarkan pengalaman pribadi, saat membantu proses ta'aruf hingga sampai ke jenjang pernikahan, wajah yang kurang menarik acapkali menjadi faktor penentu lanjut atau tidaknya proses ta'aruf. Dalam buku "Bila Jodoh Tak Kunjung Datang" juga disebutkan bahwa salah satu faktor yang menghambat datangnya jodoh adalah wajah yang bermasalah.

Jika kita termasuk salah satu di antara sekian banyak orang yang memiliki wajah yang kurang menarik, Langkah apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan jodoh idaman. Tulisan ini dibuat sebagai sumbangsih pemikiran dan solusi.

Pertama, menarik tidaknya wajalah adalah takdir dari Allah SWT yang tidak bisa kita memilihnya.
Dalam hal ini, kita harus menerima apa adanya wajah ciptaan Allah SWT. Wajah menarik tidak mendatangkan pahala. Dan wajah yang tidak menarik mendatangkan dosa.

November 20, 2018

7 Pepatah Penguat Kesabaran

Pepatah penguat Kesabaran
Dalam menjalani kehidupan ini, baik sebagai seorang individu, anggota keluarga, anggota atau bagian dari suatu komunitas masyarakat pastilah menghadapi yang namanya masalah. Dalam menghadapi masalah tersebut, terkadang membutuhkan kesabaran. Bahkan kesabaran yang sangat besar. Kesabaran yang bisa menguras air mata.

Karena beratnya masalah, terkadang kedua kaki ini membutuhkan sandaran agar mampu bertahan dari beratnya cobaan dan masalah. Disamping bersandar dan meminta pertolongan kepada Dzat yang maha kuat, Allah SWT, kita juga perlu mendapatkan motivasi dan dorongan dari orang lain. Motivasi dan dorongan bisa kita dapatkan dari orang yang masih hidup di tengah-tengah kita. Bisa juga dari orang-orang yang sudah mendahului kita. Melalui pepatah-pepatah dan nasehat mereka misalnya.

Berikut ini adalah pepatah-pepatah Arab atau mahfudzot yang bisa kita jadikan motivasi dalam menghadapi masalah yang membutuhkan kesabaran yang sangat kuat.

1. Man Shobaro dzofiro

مَنْ صَبَرَ ظَفِرَ
Barang yang siapa bersabar, maka beruntunglah ia.

Pepatah ini akan membuat kita lebih bersabar, bagaimanapun beratnya ujian karena buah dari kesabaran adalah keberuntungan

2. Wamaa al-ladzdzatu Illa ba'datta'abi

وَمَا اللَّذَّةُ إِلاَّ بَعْدَ التَّعَبِ
Tiada kenikmatan kecuali setelah kepayahan.

Ujian kesabaran yang membuat kita payah akan menjadikan akhir dari perjuangan menjadi indah. Semakin payah semakin indah.

3. Idzaa Shodaqol azmu wadhohassabiilu

إِذَا صَدَقَ العَزْمُ وَضَحَ السَّبِيلُ
Jika benar kemauannya niscaya terbukalah jalannya.

Kemauan yang dilandasi kebenaran akan membuka jalan. Sesulit apapun masalah yang dihadapi.

4. Daawuul ghodoba bishshumti

دَاوُوْا الغَضَبَ بِالصُّمْتِ
Obatilah kemarahan itu dengan diam.

Adakalanya ujian kesabaran membuat kita marah dan naik pitam. Jika ini terjadi maka diamlah, karena diam adalah salah satu obatnya marah. Karena membiarkan kemarahan bisa menyebabkan kita menjadi gila sebagaimana dinyatakan dalam pepatah berikut ini:

5. Awwalul ghodhobi junuunun wa aakhiruhu nadamun

أَوَّلُ الغَضَبِ جُنُوْنٌ وَآخِرُهُ نَدَمٌ
Permulaan marah itu adalah kegilaan dan akhirnya adalah penyesalan.

6. Alhasuudu laa yasuudu

الحَسُوْدُ لاَ يَسُوْدُ
Orang yang pendengki itu tidak akan menjadi mulia.

Pihak yang menguji kesabaran kita, yang mendatangkan masalah dalam kehidupan kita adalah dari kalangan para pendengki. Yakinlah, para pendengki itu tidak akan pernah bisa menjadi mulia.

7. Ilahii lastu lil firdausi ahlan, walaa aqwaa 'alaanaaril jahiimi

إِلَهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً وَلاَ أَقْوَى عَلَى النَّارِ الجَحِيْمِ
Wahai Tuhanku ! Aku tak pantas di surga-Mu, tapi aku tak kuat di neraka-Mu.

Ini salah satu pepatah yang sangat terkenal. Nasehat ini akan sangat berharga mana kala seluruh dunia seakan bersekutu melakukan kedzaliman atas diri kita. Seakan tidak ada yang mampu membela atas kezaliman yang ditimpakan kepada kita. Para pendengki seakan-akan mendatangkan azab kepada kita, orang-orang yang berikhtiar berpegang dan memperjuangkan kebenaran. Saat seperti itulah nasehat agung ini bisa kita jadikan acuan. Bahwa adzab Allah sangat pedih, melibihi adzab siapapu. Masalah terbesar seorang hamba adalah manakala mendapat siksa neraka yang sangat pedih.

Bersabarlah... Bersabarlah... Bersabarlah dan raihlah kebahagiaan.

Mabsus AF

Artikel ini pernah dimuat di:
https://www.plukme.com/post/7-pepatah-penguat-kesabaran-5bece4cf9847f



July 4, 2018

Delapan Fungsi Keluarga

Fungsi Keluarga
Keluarga bisa diibaratkan seperti ponsel yang memiliki berbagai macam fungsi. jika kita lihat dan perhatikan sebuah ponsel maka ia memiliki beberapa fungsi. Fungsi berkirim pesan singkat, fungsi memanggil, Fungsi Videocall, fungsi internet, fungsi berkirim gambar, fungsi video atau fungsi-fungsi lainnya. Apalah jadinya jika memiliki ponsel namun tidak bisa SMS, tidak bisa untuk telpon, internet dan tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Semakin banyak fungsi yang tidak berjalan, semakin tidak normal ponsel tersebut. Akhirnya ketika hampir semua fungsi ponsel tidak berjalan, maka ponsel tersebut layak terkategori ponsel rusak!

February 13, 2018

BIJAK MENYIKAPI CADAR

Menyikapi Cadar
Menyikapi video yang sedang viral mengenai "ceramah" nikah yang menyoal pengantin wanita yang bercadar, bahkan merendahkan wanita bercadar dengan menyatakannya hanya lulusan pesantren kilat. Kemudian dibandingkan pula dengan istri para pejabat bidang keagamaan yang tidak pada bercadar katanya.

Alangkah baiknya sang "penceramah" belajar kembali perbandingan madzhab. Boleh juga kitabnya Hizbut Tahrir, an-Nidzom al-ijtimaa'iy Fil Islam (Terj: Sistem Pergaulan dalam Islam) untuk dibaca agar bisa melek dan bisa menghormati perbedaan pandangan, khususnya kepada mereka yang bercadar. Meski tidak mewajibkannya, melalui kitab ini, kader Hizbut Tahrir diajari cara menghormati mereka yang bercadar mengikuti pendapat Mujtahid lain.

Atau kalau susah mencarinya, bisa juga membuka kembali kitab Safinatun Najah bab Aurat. Biar tahu di mana kesalahan pendapatnya. Mudah-mudahan punya atau setidaknya pernah mengkajinya.

Mabsus Abu Fatih

Hukum Menggunakan Cadar menurut Hizbut tahrir
Pembahasan Aurat dalam Kitab Safinah