Bayi
tabung dewasa ini menjadi bahan perbincangan. Hal tersebut dikarenakan bayi
tabung dianggap sebagai salah satu alternatif bagi sepasang suami istri yang
belum memiliki keturunan. Namun di sini lain, bayi tabung tidak pernah dikenal
di masa generasi awal kemunculan islam. Bayi tabung muncul seiring dengan
kemajuan teknologi. Bagaimana hukum dan mendudukan persoalan bayi tabung? Tulisan
ini dibuat untuk menjawab persoalan tersebut.
Pada
umumnya, agar menghasilkan keturunan, proses pembuahan berlangsung secara alami
yaitu melalui hubungan seksual. Namun, tidak jarang proses alami tersebut tidak
membuahkan hasil. Hal ini karena rusak atau tertutupnya saluran indung telur (tuba
fallopi) yang membawa sel telur ke rahim, dan kerusakan tersebut tidak bisa
diobati. Atau karena sel sperma yang lemah atau tidak mampu menjangkau rahim
isteri untuk bertemu dengan sel telur. Dan lemahnya sel sperma ini tidak dapat diatasi dengan berbagai cara. Baik
dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, atau dengan mengupayakan sampainya
sel sperma tersebut, atau bahkan dengan mengupayakan sampainya sel sperma ke
rahim istri agar bertemu dengan sel sperma hingga bisa menghasilkan keturunan. Dalam
kondisi seperti itulah muncul tawaran solusi Bayi Tabung.
( Baca Juga : Ingin Memiliki Keturunan? Perbanyaklah Hal Ini )
Bayi tabung sendiri merupakan upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami. Sel telur yang telah dibuahi ini kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan suatu cara tertentu sehingga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.[1]
Hukum Bayi Tabung
Ada
dua pendapat ulama yang saya angkat berkaitan dengan hal ini. Pertama, Pandangan
Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam bukunya Beberapa Problem
Kontemporer dalam Pandangan Islam terbitan al-Izzah bangil, tahun 1998, Bab
Bayi Tabung pada hal. 57-61. Buku ini merupakan terjemahan dari kitab Hukmu
As Syar’i Fi al-Intinsaakh, Naqlu al-a’dhaai, al-Ijhaadh, Athfaalu al-anaabiib,
ajhazatu, al-Ins’aasy ath – thabiyah, al – Hayah wa al-Maut terbitan Daar
al-Ummah. Kedua, Pandangan Al-‘Alim al-Jalil ‘Atha’ bin Khalil Abu
Rasytah Hafidzahullahu dalam Ensiklopedi Jawab Soal Amir Hizbut Tahrir,
Al-‘Alim al-Jalil ‘Atha’ bin Khalil Abu Rasytah Hafidzahullahu terbitan
Al-Azhar Fresh Zone – bogor tahun 2014 khususnya pada hal.206-208.
Pertama, menurut Syaikh
Abdul Qadim Zallum (1924-2003 M), proses menghasilkan keturunan dengan bayi
tabung merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan, dan hukumnya adalah
boleh (ja’iz) menurut syara’. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk
mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak,
yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Dalilnya adalah Hadits riwayat Ahmad dari
Anas RA di atas, dan juga hadits serupa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
Abdullah bin Umar RA berikut:
أَنْكِحُوا
أُمَّهَات الْأَوْلَاد فَإِنِّي أُبَاهِي بِكمْ يَوْم الْقِيَامَة
“Menikahlah
kalian dengan wanita-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku akan
membanggakan (banyaknya) kalian pada hari kimat nanti” (HR Ahmad)
Alasan lainnya adalah disebabkan karena berobat hukumnya sunnah (mandub) dan disamping itu proses tersebut akan dapat mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.
Meski
hukumnya adalah ja’iz (mubah), menurut beliau, upaya tersebut hendaknya tidak
ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terjadinya pembuahan
alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.
Syarat
yang harus dipenuhi dalam proses bayi tabung adalah disyaratkan sel sperma
harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang
telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim
isteri.
Adapun
jika sel telur yang terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan
isteri, atau apa yang disebut dengan “ibu pengganti” (surrogate mother) adalah
haram hukumnya. Pun demikian halnya jika proses pembuahan buatan tersebut
terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel
telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam Rahim isteri. Haram juga dihukumnya
jika proses pembuatan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel
telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam
Rahim isteri.
Ketiga bentuk proses
tersebut tidak dibenarkan oleh hukum islam, sebab akan menimbulkan
pencampuradukkan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran
Islam. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li’an :
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ نَسَباً لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ
اللَّهِ فِى شَىْءٍ وَلَمْ يُدْخِلْهَا
اللَّهُ جَنَّتَهُ ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ
احْتَجَبَ اللَّهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُءُوسِ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ
“Siapa
perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari
kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapatkan apa pun dari Allah dan Allah
tidak akan pernah memasukannya ke dalam surga. Dan siap saja laki-laki yang
mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan
tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan
orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti)” (HR.
Ad-Darimi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW
telah bersabda :
مَنْ انْتَسَبَ
إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Siapa saja
yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak)
bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapatkan laknat
dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah).
Lebih dari itu,
masih menurut Syaikh Abdul Qadim Zalum, ketiga bentuk proses di atas mirip
dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya
tidak terjadi penetrasi layaknya perzinaan. Oleh karena itu laki-laki dan
perempuan yang menjalani proses tersebut idak dijatuhi sanksi bagi pezina
(hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir yang besarnya
diserahkan kepada kebijakan hakim (qadli).
Sementara itu,
seakan melengkapi pandangan Syaikh Abdul Qadim zalum tersebut di atas, ketika
ditanya pertanyaan sebagai berikut:
Pertama, jika
sperma dari suami dan sel telur dari isteri bertemu di cawan percobaan kemudian
sel telur yang telah dibuahi diletakkan di Rahim seorang wanita pengganti yang
menerima dan bersedia untuk mengandung anak sebab si isteri tidak bisa hamil
karena alasan kesehatan atau sebab lainnya… lalu apakah hal itu boleh? Saya
mohon diperhatikan bahwa laki-laki dan wanita pemilik sperma dan sel telur
adalah suami isteri.
Kedua, apa
hukumnya jika wanita pengganti adalah isteri kedua laki-laki itu? Apakah ada
kondisi yang membolehkan hal itu, misalnya suami mengancam isterinya yang lain
akan dicerai jika tidak rela sel telur yang telah dibuahi itu dipindahkan ke
rahimnya?
Syaikh ‘Atha bin
Khalil, Amir Hizbut Tahrir saat ini memberikan jawaban bahwa Tidak boleh
mengambil sperma dari suami dan sel telur dari isteri kemudian dibuahkan di
cawan percobaan dan setelah itu zigot yakni sel telur yang sudah dibuahi itu
dipindahkan ke wanita pengganti. Bahkan meskipun wanita pengganti tersebut itu
adalah isteri kedua dari suami tersebut.
Menurut beliau, hukumnya tidak boleh dan haram. Wajib hukumnya, zigot
yakni sel telur yang telah dibuahi itu dikembalikan ke isteri yakni ibu pemilik
sel telur itu sendiri. Hal itu sesuai firman Allah SWT:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya … “ (QS al-Baqarah [2]: 233)
Arah penarikan
dalilnya menurut beliau adalah pengaitan kata “al-wâlidatu –para ibu-“ dengan
kata “awlâdahunna –anak-anak mereka-.” Yakni wanita yang melahirkan anak maka
anak itu menjadi anaknya. Oleh Karena itu, seorang wanita tidak boleh
melahirkan yang bukan anaknya.
Dalil lainya yang dijadikan sandaran adalah firman Allah SWT:
إِنْ
أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ
“Ibu-ibu
mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka” (QS al-Mujadilah
[58]:2)
Dan Ayat:
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ
‘Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu (QS
an-Nahl [16]:78)
Jadi menurut beliau, wanita yang melahirkan ia adalah ibu. Maka wanita
tidak halal melahirkan kecuali anak yang dia adalah ibunya.
Dan tidak ada
kondisi yang memperbolehkan dilakukannya keharaman ini, baik apakah wanita itu
diancam jika tidak melakukannya akan dicerai atau lainnya. Kebenaran itu lebih
berhak untuk diikuti. Dan dosa akan menimpa orang yang mengancam wanita tersebut,
pada kondisi ini.
Jadi dari
pandangan kedua ulama yang mulia ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa bayi
tabung adalah boleh jika sperma
milik suami dan sel telur milik isteri. Dan ketika sel telur isteri terbuahi
oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri pemilik
sel telur bukan pada wanita lain, meski wanita lain tersebut adalah istri kedua
sang suami. Allâhua’lam bishowâb.
Semoga
pandangan kedua syaikh yang mulia ini, yakni Syaikh Abdul Qadim zalum dan
Syaikh Atha Abu Rasyath, mencukupi berkaitan dengan hukum bayi tabung. Dan semoga
Allah melimpahkan rahmatnya untuk kedua ulama tersebut dan untuk kita semua. Âmîn
ya Robbal ‘Âlamîn.
Tangerang - Banten,
Mabsus Abu Fatih
[1] Lihat
buku Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam Karya Syaikh
Abdul Qadim Zallum, (Bangil: Al-Izzah), 1998. Hal. 57
Sumber Gambar : Tribunnews.com
Sumber Gambar : Tribunnews.com