December 26, 2019

Bolehkah Wanita Berkendaraan dengan Sopir Pribadi?

Hukum Wanita Berkendara dengan Sopir Pribadi
Soal:
Bolehkah seorang wanita naik kendaraan pribadi jika sopirnya adalah orang yang menjadi kenalan keluarga atau sopir keluarganya?
Jawab:
Pertama: Mobil khusus, seperti mobil pribadi, hukumnya seperti hukum rumah, karena untuk memasukinya dibutuhkan izin. Karena itu, tidak boleh ada seorang wanita di dalam mobil tersebut bersama sopir pribadinya, kecuali disertai mahram atau suaminya, sebagaimana di dalam rumah.
Kedua: Dalam hal ini tidak ada pengecualian, kecuali apa yang dikecualikan oleh nash boleh dilakukan di dalam rumah; seperti silaturahmi dengan kerabat, baik mahram (seperti paman dari bapak [‘am]) ataupun bukan mahram (seperti dengan saudara sepupu laki-laki/anak laki-laki paman [ibn al-’am])—dengan catatan tidak boleh ber-khalwat. Karena itu, boleh berkunjung kepada kerabat mereka untuk menjalin hubungan kekerabatan (sillaturrahim), pada saat hari raya, misalnya, atau waktu lain. Sebab, memang ada nas-nas umum yang menyatakan tentang sillaturrahim, yaitu kewajiban menjaga hubungan dengan kerabat yang mempunyai hubungan mahram dan sunnah bagi yang tidak ada hubungan mahram; dengan catatan tidak terjadi khalwat.
Ketiga: Dalam kondisi lain, saat ada nas yang membolehkan pertemuan kaum pria dengan wanita di dalam rumah. Terdapat pengecualian lain dalam kaitannya dengan sarana transportasi khusus (kendaraan pribadi), yang statusnya sama seperti rumah, karena membutuhkan izin, dimana seorang wanita boleh naik mobil/kendaraan tersebut bersama sopirnya jika dia mempunyai hubungan kerabat dengannya, atau mempunyai hubungan persahabatan dengan keluarganya; dengan catatan tidak boleh ber-khalwat. Dalilnya adalah hadis penuturan Asma’ ra. Hadis tersebut dikeluarkan oleh al-Bukhari dari Asma’ binti Abi Bakar ra. yang berkata:
تَزَوَّجَنِي الزُّبَيْرُ … وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم عَلَى رَأْسِي وَهِيَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَيْ فَرْسَخٍ فَجِئْتُ يَوْمًا وَالنَّوَى عَلَى رَأْسِي فَلَقِيتُ رَسُولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ الأَنْصَارِ فَدَعَانِي ثُمَّ قَالَ إِخْ إِخْ لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسِيرَ مَعَ الرِّجَالِ وَذَكَرْتُ الزُّبَيْرَ
“Aku telah dinikahi oleh Zubair…Aku sedang mengangkut biji-biji kurma dari tanah Zubair yang telah diberi oleh Rasulullah saw. di atas kepalaku. Tanah tersebut jaraknya dariku sekitar 2/3 Farsakh. Suatu ketika aku datang, sementara biji-biji kurma tersebut ada di atas kepalaku, lalu aku pun menemui Rasulullah saw. Ketika itu Baginda bersama sejumlah kaum Anshar. Baginda pun memanggilku. Lalu Baginda berkata, ‘Ikh..ikh…(terhadap untanya),’ agar Baginda bisa memboncengku di belakangnya. Namun, aku merasa malu untuk berjalan bersama-sama kaum pria. Aku pun menceritakannya kepada Zubair.”
farsakh sama dengan 3 mil, jadi jaraknya saat itu sekitar 5,5 km. Dari hadis tersebut bisa dipahami, bahwa Rasulullah saw. membolehkan Asma’ untuk naik di belakang beliau, dalam satu kendaraan dengan beliau, yang merupakan kendaraan khusus, bukan transportasi umum. Rasul saw. ketika itu berjalan bersama sejumlah sahabat dalam satu kafilah (rombongan) yang berjalan beriringan. Tampak bahwa perjalanan tersebut jaraknya dekat, bukan perjalanan jauh yang membutuhkan mahram.
Tindakan Nabi saw. yang menghentikan unta beliau agar bisa dinaiki oleh Asma’, karena Asma’ mempunyai hubungan kekerabatan dengan beliau (Asma’ adalah saudara perempuan Aisyah ra., Ummul Mukminin, istri Nabi saw.
Tindakan Baginda menghentikan unta agar bisa dinaiki Asma’ bisa dipahami, bahwa beliau mempunyai hubungan kekerabatan dengan Baginda. Hal yang sama berlaku terhadap wanita yang keluarganya mempunyai hubungan persahabatan dengan pemilik kendaraan atau mobil pribadi tersebut, berdasarkan ayat al-Quran, yang memasukkan sahabat (shadaqah) dan kerabat dalam topik pembahasan makan di rumah, yang notabene merupakan kehidupan khusus. Allah SWT berfirman:
أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ
Makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri atau di rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-saudara kalian yang laki-laki, di rumah saudara kalian yang perempuan, di rumah saudara bapak kalian yang laki-laki, di rumah saudara bapak kalian yang perempuan, di rumah saudara ibu kalian yang laki-laki, di rumah saudara ibu kalian yang perempuan, di rumah yang kalian miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawan kalian (QS an-Nur [24]: 61).
Ash-Shadiq adalah orang yang mempunyai sifat shadaqah, yaitu lemah lembut dan kasih-sayang.
Jadi, boleh seorang wanita naik kendaraan pribadi dengan ditemani sopir jika wanita tersebut mempunyai hubungan kekerabatan dengan sopir tersebut, atau keluarganya mempunyai hubungan persahabatan yang sesungguhnya dengan sopir tersebut, dengan syarat tidak terjadi khalwat; atau antara sopir dan wanita tersebut ada orang lain, baik dari kenalan wanita tersebut maupun kenalan sopir yang bisa dipercaya berada di dekat mereka. Sebab, orang-orang yang bersama Rasulullah saw. pada waktu itu adalah para sahabat.
Jika di dalam mobil tersebut hanya ada satu orang, baik dari kenalan wanita atau sopir tersebut, maka orang tersebut harus mahram wanita itu; kecuali jika di sana lebih dari satu orang kenalan wanita atau sopir tersebut yang bisa dipercaya, maka tidak dibutuhkan mahram. Ini bisa disimpulkan dari sejumlah dalil. Sebab, Rasulullah saw. dalam hadis Asma’ tersebut bersama sejumlah kaum Anshar, atau lebih dari satu orang, sementara tak seorang pun dari mereka yang merupakan mahram Asma’. Namun, dalam hadis yang menyatakan tentang khalwat, karena hanya dengan satu orang, disyaratkan harus bersama mahram, karena Nabi saw. bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
Hendaknya seorang pria tidak berduaan dengan seorang wanita, kecuali bersamanya seorang mahram (HR Muslim).
Karena itu, jika ada kondisi yang membolehkan adanya seorang pria bersama wanita di dalam mobil pribadi, seperti adanya hubungan kekerabatan antara wanita itu dengan sopirnya, atau sopir tersebut sahabat keluarga wanita itu, maka hilangnya status khalwat bagi mereka, jika disertai lebih dari satu orang kenalan sopir atau wanita itu yang bisa dipercaya, atau dengan disertai satu orang mahram-nya. Bepergiannya pun tidak jauh sehingga tidak mengharuskan syarat adanya mahram.
Ini terkait dengan hilangnya status khalwat antara pemilik mobil khusus dan wanita asing tersebut, baik yang mempunyai hubungan kerabat atau sahabat keluarganya, yaitu adanya sejumlah pria di dalam mobil tersebut bersama mereka. Jika hanya ada satu orang pria, yang menjadi teman wanita tersebut, tentu selain sopir, maka pria itu haruslah mahram wanita itu; jika ada lebih dari satu maka harus orang yang menjadi kenalan sopirnya, atau kenalannya yang bisa dipercaya.
Adapun tentang hilangnya status khalwat dengan adanya sejumlah wanita bersama pria dan wanita asing tersebut sebenarnya merupakan pembahasan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fuqaha’ terdahulu. Dalam masalah ini, penanya boleh saja mengikuti mujtahid manapun, dan itu sah. Sekadar diketahui, memang ada fuqaha’ yang membenarkan hilangnya status khalwat bagi pria dan wanita asing cukup dengan ditemani seorang wanita, baik dari mahram pria tersebut, atau istri-istri pria tersebut. Ada juga fuqaha’ lain, yang menyatakan bahwa status khalwat tersebut baru hilang, jika wanita tersebut ditemani wanita lain yang tsiqqah. Imam an-Nawawi, penulis Al-Majmû’, memberikan alasan, “Umumnya, karena tidak ada mafsadat. Sebab, dalam kasus seperti ini, wanita itu biasanya malu, satu sama lain.”
Wallâhu a’lam. []

November 20, 2019

Nasehat Emas Syaikh Mutawalli Sya'rawi tentang Pernikahan


نصيحة من ذهب

سئل الشيخ الشعراوي بماذا نصحت ابنك حين تزوج؟
قال : << يا بني هذه المرأة تركت الاب و الام و الاخ والاخت و جاءت لتكون لك وحدك فكن لها كل هؤلاء!>>

Nasehat Emas

As-Sya'rawi pernah ditanya: "Nasehat apa yang engkau pesankan kepada putramu tatkala dia menikah?"

August 11, 2019

Tujuan Pendidikan Agama di dalam Keluarga

Sakinah - Pendidikan dalam keluarga
Tidak sedikit keluarga yang mengabaikan tujuan pendidikan di dalam keluarga khususnya pendidikan agama. Mereka lebih memercayakan kepada lembaga baik sekolah, majelis taklim, TPA, Pesantren atau tempat-tempat lainnya. Dilihat dari tempat penyelenggaraan pendidikan agama terbagi ke dalam empat tempat, yaitu di rumah, di masyarakat, di rumah ibadah dan di sekolah. 

Diantara empat tempat pendidikan agama (Islam) tersebut, ternyata pendidikan agama di rumah itulah yang paling penting. Demikian pendapat Prof. Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal.132). Pengabaian terhadap pendidikan di dalam keluarga khususnya pendidikan agama bisa berakibat fatal bagi keluarga muslimin tentunya.

Pentingnya pendidikan agama di dalam keluarga bisa dilihat dari beberapa sisi. Salah satunya dari tujuan pendidikan keluarga itu sendiri. Apa saja tujuan berkeluarga?.

Menurut Dr. Helmawaty Helmawati dalam Pendidikan Keluarga Teoritis dan Praktis,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016) disebutkan bahwa keluarga memiliki tujuan sbb:

1- Memelihara Keluarga dari Api Neraka

Tujuan pendidikan keluarga ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. At-Tahrim [66]: 6

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.

2- Beribadah Kepada Allah SWT

Manusia diciptakan memang untuk beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam kitab-Nya yang menganjurkan agar manusia beribadah kepada Allah SWT. (QS. Al-Dzariyat [51]:56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah


Ibadah dalam keluarga

3- Membentuk Akhlak Mulia

Penddikan dalam keluarga tentunya menerapkan nilai-nilai atau keyakinan seperti juga yang ditunjukkan dalam quran surat Luqman [31]: 12-19, yaitu agar menjadi manusia yang selalu bersyukur kepada Allah; tidak mempersekutukan Allah (keimanan); berbuat baik kepada kedua orang tua; mendirikan shalat (ibadah); tidak sombong; sederhana dalam berjalan; dan lunakkan suara (akhlak/kepribadian). Membentuk anak agar kuat secara individu, sosial, dan profesional. Kuat secara individu ditandai dengan tumbuhnya kompetensi yang berhubungan dengan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Sementara Tujuan pendidikan Islam menurut Rumusan konferensi pendidikan Islam sedunia yang ke-2 (1980) yang Pernah diselenggarakan di Islamabad adalah,
Education should aim at the balanced growth of total personality of man throught the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling, and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspect, spiritiaul, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.” yang artinya “Pendidikan harus ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demikian pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia pada seluruh aspeknya: spiritual, intelektual, daya imajinasi, fisik, keilmuan dan bahasa, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong seluruh aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan diarahkan pada upaya merealisasikan pengabdian manusia kepada Allah, baik pada tingkat individual, maupun masyarakat, dan kemanusiaan secara luas.”

Semoga penjelasan ini membuat kita lebih serius dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan pendidikan agama di dalam lingkungan keluarga.
Terima kasih sudah membaca.

Mabsus Abu Fatih

Tulisan ini pernah dimuat di UC-News

August 2, 2019

Hukum Chatting Dengan Non Mahram Via Sosmed

Hukum Chatting dengan Non Mahram
Diasuh oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan hukum syara’ seputar chatting antara laki-laki dengan perempuan non mahram di dunia maya via sosmed seperti Facebook, Twitter, WhatssApp!
Fatih, Depok

Jawab :
Sebelumnya perlu ditegaskan, tidak benar anggapan bahwa di dunia maya seseorang boleh bicara apa saja secara bebas tanpa terkena dosa, dengan dalih percakapan itu terjadi di dunia maya bukan di dunia nyata. Yang benar, bahwa apa yang ditulis oleh seseorang di dunia maya, secara hukum Islam sama dengan ucapan lisan yang dikeluarkan oleh mulutnya. Kaidah fiqih menyebutkan : Al Kitaab kal khithaab (tulisan itu hukumnya sama dengan ucapan lisan). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawaid Al Fiqhiyyah, 8/272-273).

Kaidah itu sejalan dengan apa yang dulu diamalkan oleh Nabi SAW, yaitu berdakwah lewat surat kepada para raja atau kaisar. Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi SAW telah menulis surat kepada kaisar Romawi mengajaknya masuk Islam. (HR Bukhari, no 2782). Dakwah lewat surat ini hakikatnya sama saja dengan dakwah dengan lisan. (‘Atha` Abu Rasytah, Silsilah Ajwibah, 24/10/2-13).

Maka dari itu, seseorang tetap berdosa jika di dunia maya menuliskan kata-kata yang bertentangan dengan akidah/syariah Islam, seperti menyebarkan ide kufur (demokrasi, nasionalisme, sekulerisme, pluralisme, dsb), memaki-maki orang, menulis ucapan kotor atau cabul, memfitnah, menggunjing, dan sebagainya. Sebaliknya seseorang akan mendapat pahala jika menuliskan kata-kata yang mengandung kebaikan (al khair), yaitu menulis tentang Islam (misalnya berdakwah atau menyebarkan tsaqafah Islam) atau apa saja yang tidak bertentangan dengan Islam (misalnya menyebarkan pengetahuan umum yang bermanfaat).

Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia mengucapkan kebaikan atau diam.” (HR Bukhari, no 5672).

Adapun hukum chatting antara antara laki-laki dengan perempuan non mahram di dunia maya, hukumnya mubah dengan dua syarat; Pertama, terdapat hajat (keperluan) yang dibenarkan oleh syariah Islam, seperti silaturahim, berdakwah, belajar, berobat, meminta fatwa, melakukan akad seperti jual beli, ijarah, utang piutang, dsb. Kedua, ucapan yang ditulis tidak bertentangan dengan syariah Islam.

Syarat pertama, dasarnya adalah dalil-dalil yang membolehkan adanya interaksi antara laki-laki dengan perempuan non mahram jika ada hajat yang dibenarkan syariah, seperti beribadah haji atau berjual beli. Jika tidak ada dalil syar'i yang membolehkan suatu hajat, haram hukumnya ada interaksi antara laki-laki dengan perempuan non mahram, termasuk interaksi di dunia maya. Mengapa haram? Karena hukum asalnya laki-laki dan perempuan non-mahram itu wajib infishal (terpisah), baik dalam kehidupan umum (seperti di jalan, kampus), maupun dalam kehidupan khusus (seperti di rumah). Kewajiban infishal ini telah ditunjukkan oleh sejumlah dalil, seperti hadits yang mengatur shaf shalat kaum wanita di belakang shaf kaum laki-laki. Juga hadits yang memerintahkan kaum wanita keluar masjid lebih dahulu setelah shalat jamaah. Juga hadits yang menunjukkan jadwal yang berbeda dalam belajar Islam dengan Rasulullah SAW antara antara kaum wanita dengan kaum laki-laki (HR Bukhari). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fil Islam, hlm. 38-39; Muqaddimah Ad Dustur, 1/317-318).

Syarat kedua, dalilnya ayat atau hadits yang memerintahkan setiap Muslim untuk berkata sesuai syariah. Misal perintah Allah untuk berkata benar (QS Al Ahzab : 70), atau hadits Nabi SAW, ”Seorang muslim yang afdhal adalah siapa saja yang muslim lainnya selamat dari ucapan dan tangannya.” (HR Bukhari & Muslim), dll. (Imam Nawawi, Al Adzkar, Kitab Hifzhil Lisaan, hlm. 283-288).

Maka dari itu, setiap chatting yang tidak memenuhi satu atau dua syarat di atas, hukumnya haram dan pelakunya berdosa. Misalnya, laki-laki yang memuji kecantikan atau keindahan tubuh teman wanitanya, atau merayunya, atau melamarnya padahal perempuan itu masih bersuami, dsb. Haram pula perempuan menulis kalimat dengan kata-kata yang dapat merangsang syahwat teman laki-lakinya, dsb. Haram pula saling curhat masalah atau aib rumah tangga masing-masing, karena ini bukan hajat yang dibenarkan syariah.

Wallahu a’lam.

Sumber :Tabloid Media Umat edisi April 2014

July 29, 2019

Tanya Jawab Hukum Menonton di Bioskop dan Menonton Film Porno

Hukum Menonton di Bioskop
Pertanyaan : “Apakah boleh masuk ke bioskop untuk meyaksikan film-film yang biasa? Kemudian apakah boleh menyaksikan film-film yang mendorong kebebasan (mempertontonkan pornografi), mengingat bahwa itu adalah menyaksikan gambar dan bukan tubuh secara hakiki? Dan apakah tindakan yang wajib dilakukan terhadap muslim yang memasuki bioskop : apakah kita melakukan amar makruf nahi mungkar kepadanya, atau membiarkannya saja ?

Jawab : “Boleh memasuki bioskop untuk menyaksikan film-film yang betul-betul bermanfaat. Syaratnya barisan wanita berada di ruang yang terpisah dari barisan laki-laki. kondisi itu seperti kehadiran ke acara diskusi atau seminar. Yang demikian itu boleh dengan syarat terpisahnya barisan laki-laki dari barisan wanita.

July 20, 2019

Hukum Seputar Qurban





Oleh : K.H Shiddiq Al-Jawi

Pengertian Qurban

Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) - yaqrabu (fi’il mudhari’) - qurban wa qurbânan (mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972). Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhâhi. Kata ini diambil dari kata dhuhâ, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 - 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).

Hukum Qurban

Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)

Sebagian mujtahidin -seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik- mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).

Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) -yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Jabari, 1994) .

Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al Kautsar : 2).

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.”(HR.At-Tirmidzi)

“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)

Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).

Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)

Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).

Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ia tidak melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi).

Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).

Keutamaan Qurban

Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ

“Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).

Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :

يا فاطمة قومي فاشهدي اضحيتك فانه يغفر لك باول قطرة تقطر من من دمها كل ذنب عملته

“Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan…” (HR al-Baihaqi, lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)

Waktu dan Tempat Qurban

a.Waktu

Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)

Sabda Nabi SAW :

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).

Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.

b.Tempat

Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).

Hewan Qurban

a.Jenis Hewan


sapi limosin
Sapi Limosin (sbr: sapibagus.com)

Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman:

لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)

Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).

Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.

b. Jenis Kelamin

Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)

c.Umur

Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).

d.Kondisi

Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)

Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :

yang nyata-nyata buta sebelah,
yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
yang nyata-nyata pincang jalannya,
yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,


Kambing Kurus Kering yang tidak layak menjadi hewan qurban

yang tidak ada sebagian tanduknya,
yang tidak ada sebagian kupingnya,
yang terpotong hidungnya,
yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),
yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Qurban Sendiri dan Patungan

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi.

Jika murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berqurban ? Menurut pemahaman kami, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya latihan qurban. Sembelihannya sah, jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun tidak mendapat pahala qurban. Wallahu a’lam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil, sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.

Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW:

إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً

“Dianjurkan bagi setiap keluarga dalam setiap tahun menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)

Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :

Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa “Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)

Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.

Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”)

Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min …” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari…. ) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)

Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).

Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :

Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al Jabari, 1994).

Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.

Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).

Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)

Pemanfaatan Daging Qurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (Al Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.

Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut ? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda :

فَكُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُو

“Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)


Penyaluran Qurban di Afrika - Gbr ; Saibumi.com

Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).

Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib (Al Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).

Akan tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984)

Pembagian daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/ tempat dari tempat penyembelihan (Al Jabari, 1994).

Bolehkah memberikan daging qurban kepada non-muslim ? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya (Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim (Al Jabari, 1994).

Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA :

وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَازِرَ مِنْهَا شَيْئًا

“…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban).” (HR. Bukhari dan Muslim) (Al Jabari, 1994)

Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir (Al Jabari, 19984).

Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:

وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا

“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya…” HR. Ahmad) (Matdawam, 1984).

Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?” (Al Jabari, 1994).

Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab -menurut pemahaman kami– larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami, dan sebagainya.

Penutup

Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya.” (TQS Al Hajj : 37) [ ]


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan Sembelihan. Cetakan Pertama. Bandung : Sinar Baru. 52 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Al Jabari, Abdul Muta’al. 1994. Cara Berkurban (Al Udh-hiyah Ahkamuha wa Falsafatuha At Tarbawiyah). Terjemahan oleh Ainul Haris. Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press. 83 hal.
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al Mu’jam Al Wasith. Kairo : Tanpa Penerbit. 547 hal.
Ash Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz IV. Bandung : Maktabah Dahlan.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taysir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Beirut : Daarul Fikr. 404 hal.
Matdawam, M. Noor. 1984. Pelaksanaan Qurban dalam Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Yayasan Bina Karier. 41 hal.
Rasjid, H.Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Cetakan Keduapuluhtiga. Bandung : Sinar Baru. 468 hal.
Rifa’i, Moh. et.al. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang : Toha Putra 468 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 13. Cetakan Kedelapan. Terjemahan oleh Kamaluddin A. Marzuki. Bandung : Al Ma’arif. 229 hal
Yunus, Mahmud. 1936. Al Fiqh Al Wadhih. Juz III. Jakarta : Maktabah Sa’adiyah Putera. 48 hal.

July 15, 2019

Mengatasi Trauma Karena Orang Tua yang Bercerai

Talk Show Pra Nikah
Dalam sebuah acara kajian Pra Nikah yang diselenggarakan di Kota Tangerang pada 07 Juli 2019 dengan tema, "Menjemput Jodoh yang Tak Kunjung Tiba" ada beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh peserta. Pertanyaan tersebu dijawab pada saat acara, dan ada juga yang dijawab melalui WA karena keterbatasan waktu. Berikut salah satu pertanyaan dan jawaban dari saya.

Tanya:
Bagaimana cara mengatasi trauma yang dialami di keluarga ( orang tua cerai ) dalam mencari jodoh, karena ada ketakutan rumah tangga saya kelak akan seperti ketakutan (pisah cerai) itu ?

Jawab:Secara sederhana trauma didefinisikan sebagai ketakutan yang berlebih yang disebabkan oleh kejadian buruk yang membekas dan menggangu. Keadaan trauma seseorang juga bisa berbeda-beda tergantung seberapa parah atau seberapa buruk kejadian yang menimpanya.

July 13, 2019

HUKUM SEPUTAR NUSYUZ

Hukum Seputar Nusyuz
Oleh : K.H Drs. Hafidz Abdurrahman, MA

Nusyûz adalah pelanggaran istri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak. Jika seorang istri tidak melakukan kewajiban semisal shalat, atau melakukan keharaman seperti tabarruj (berpenampilan yang menarik perhatian lelaki lain), maka seorang suami wajib memerintahkan istrinya untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman tersebut. Jika tidak mau, berarti dia telah melakukan tindakan nusyûz. Dalam kondisi seperti ini, seorang suami berhak untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya. Dia juga tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Jika istrinya telah kembali, atau tidak nusyûz lagi, maka sang suami tidak berhak lagi untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya, dan pada saat yang sama dia pun wajib memberikan nafkah istrinya.

July 9, 2019

MENOLAK SYUBHAT-SYUBHAT ANTI POLIGAMI

Anti poligami
OLEH : KH. M. SHIDDIQ AL JAWI

Berikut ini adalah bantahan terhadap beberapa syubhat-syubhat yang pada pokoknya adalah anti poligami.

Syubhat Pertama : Katanya Poligami Hanya Boleh Dalam Kondisi Darurat

Ada orang yang menolak poligami dengan ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door" (pintu keluar darurat).

Ini tidak benar dan tidak sesuai dengan pengertian darurat dalam fiqih dan ushul fiqih.

Darurat menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybaah wa an-Nazhaa`ir fi al-Furuu’, adalah "sampainya seseorang pada suatu batas (kondisi) yang jika dia tidak mengerjakan yang haram, maka dia akan mati atau hampir mati" (wushuuluhu haddan in lam yatanaawal al-mamnuu’ halaka aw qaaraba).

Ini artinya, seorang laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah payah sekali keadaannya, yakni hampir mati kalau dia tidak berpoligami. Wah, kalau begitu kasihan sekali ya seorang laki-laki yang mau poligami. Ini tentu cukup menggelikan dan tidak benar.

January 23, 2019

NASIHAT UST ABDUL SHOMAD : JANGAN SAKITI HATI PARA JOMBLO

Jomblo menangis
Lihatlah video ceramah singkat Ustadz Abdul Somad berikut ini. Betapa lembutnya hati guru kita, Ustaz Abdul Shomad. Demi menjaga perasaan mereka yang belum menikah alias Jomblo, sampai-sampai tidak berani bertanya "Kapan Nikah". Kapan pertanyaan tersebut pernah beliau terima dan tidak mengenakan hati


Sementara di antara kita terkadang begitu gampangnya menjadikan jomblo sebagai bahan guyonan. Sampai-sampai sang jomblo kehabisan kata dengan komentar dan guyonan pedas kita.

January 22, 2019

Hukum Menikahi dan Menikahkan Wanita Hamil Di Luar Nikah

hamil di luar nikah
Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman

PERTANYAAN:
Bagaimana hukum menikahi dan menikahkan wanita yang hamil di luar nikah?

JAWABAN:
Menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama: wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. Kedua: wanita tersebut bukan pasangannya, atau hamil karena berhubungan badan dengan orang lain.

Bagi wanita yang hamil karena zina, baik zina dengan pasangan yang hendak menikahinya, atau zina dengan orang lain, maka hukum menikahinya ada tiga pendapat.