OLEH : KH. M.
SHIDDIQ AL JAWI
Berikut ini adalah bantahan terhadap
beberapa syubhat-syubhat yang pada pokoknya adalah anti poligami.
Syubhat Pertama : Katanya Poligami Hanya Boleh Dalam
Kondisi Darurat
Ada orang yang menolak poligami dengan
ungkapan bahwa poligami adalah "emergency exit door" (pintu
keluar darurat).
Ini tidak benar dan tidak sesuai dengan
pengertian darurat dalam fiqih dan ushul fiqih.
Darurat
menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybaah wa an-Nazhaa`ir fi
al-Furuu’, adalah "sampainya seseorang pada suatu batas
(kondisi) yang jika dia tidak mengerjakan yang haram, maka dia akan
mati atau hampir mati" (wushuuluhu haddan in lam yatanaawal
al-mamnuu’ halaka aw qaaraba).
Ini artinya, seorang
laki-laki baru boleh berpoligami kalau sudah payah sekali keadaannya,
yakni hampir mati kalau dia tidak berpoligami. Wah, kalau begitu
kasihan sekali ya seorang laki-laki yang mau poligami. Ini tentu
cukup menggelikan dan tidak benar.
Pendapat yang
membolehkan poligami dalam kondisi darurat berarti menganggap
poligami itu hukum asalnya haram (seperti daging babi), dan baru
dibolehkan (sebagai hukum rukhshah) jika tak ada jalan keluar selain
poligami.
Padahal yang benar adalah sebaliknya, yakni
hukum asal poligami itu adalah mubah (boleh), bukan haram.
Jadi
mengatakan poligami baru dibolehkan jika ada kondisi adalah batil.
Yang benar, poligami itu boleh tanpa ada syarat terjadinya kondisi
darurat lebih dulu. Inilah yang benar.
Syubhat Kedua :
Katanya Nabi SAW Melarang Ali bin Abi Thalib RA Poligami
Ada
orang yang mengharamkan poligami dengan alasan Rasulullah SAW telah
melarang Ali bin Abi Thalib RA berpoligami.
Dalam satu
riwayat, suatu saat Ali bin Abi Thalib RA yang sudah beristerikan
Fatimah meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikah lagi dengan
putri Abu Jahal. Maka Rasulullah SAW bersabda : "Tidak aku
izinkan, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi
Thalib rela untuk menceraikan putriku dan menikahi putrinya Abu
Jahal. Sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku, menyenangkan aku
apa yang menyenangkannya, menyakitiku apa yang menyakitinya."
Jika
dilihat sampai disini, seolah-olah Rasulullah SAW mengharamkan
poligami. Kaum liberal yang curang biasanya hanya menyampaikan hadits
di atas tanpa melihat hadits yang sama dari jalur periwayatan yang
lain.
Padahal dalam jalur riwayat lain ada pernyataan
Nabi SAW yang justru sangat penting kaitannya dengan status hukum
poligami. Yaitu pernyataan yang menjelaskan alasan Nabi SAW menolak
poligami Ali bin Abi Thalib RA.
Sabda lalu Rasulullah SAW
tersebut adalah : "Sungguh aku tidaklah mengharamkan sesuatu
yang halal, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang haram. Akan
tetapi, demi Allah, tidak akan putri Rasulullah berkumpul dengan
putri musuh Allah dalam suatu tempat selama-lamanya." (HR
Bukhari)
Sabda Rasul SAW yang terakhir ini dengan jelas
menunjukkan bahwa poligami itu adalah halal, bukan haram.
Jadi
larangan Rasul SAW kepada Ali bin Thalib yang ingin memadu Fatimah
dengan putri Abu Jahal bukanlah karena Rasulullah SAW mengharamkan
poligami, melainkan karena lalu Rasulullah SAW tidak senang Ali bin
Abi Thalib mengumpulkan putri Rasulullah SAW dengan putri musuh Allah
di bawah lindungan seorang lelaki.
Ini dapat dipahami
dari kalimat selanjutnya yaitu "Akan tetapi, demi Allah, tidak
akan putri Rasulullah berkumpul dengan putri musuh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam suatu tempat selama-lamanya".
Bahkan
Ali bin Abi Thalib sendiri sebenarnya berpoligami, setelah
meninggalnya Fathimah. Ibnu Uyainah mengatakan bahwa Ali bin Abi
Thalib mempunyai empat isteri dan 19 budak perempuan, setelah
wafatnya Fatimah RA (Imam Suyuthi, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul
Muta`ahhil fi al-Khathib wa al-Mutazawwij, [Beirut : Dar Amwaaj,
1989, hal 17]
Syubhat Ketiga : Katanya Poligami Yang
Menimbulkan Bahaya (Dharar) Hukumnya Haram
Ada orang yang
mencoba menolak poligami berdasarkan survei dari data-data empiris
yang menjelaskan berbagai bahaya (dharar) dari praktik buruk
poligami, misalnya percekcokan atau kecemburuan antar isteri, rawan
penyakit seksual, kekerasan dalam rumah tangga, nafkah terabaikan,
nafkah tidak adil, dan sebagainya.
Secara metodologis
dalam hukum Islam (ushul fiqih), cara berpikir seperti itu sungguh
salah, sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai
satu-satunya alat untuk mengetahui status hukum syara’.
Padahal
akal tidak dapat secara independen memutuskan halal-haramnya sesuatu
hanya bertolak dari fakta-fakta empiris semata. Akal tugasnya adalah
memahami teks wahyu, bukan untuk menyimpulkan status hukum secara
mandiri terlepas dari teks.
Di sinilah tepat sekali Imam
Ghazali mengatakan, "Al-Ahkaam as-sam’iyah laa tudraku bi
al-‘aql," (Hukum-hukum syar’i tidaklah dapat dijangkau
dengan akal semata) (Imam Ghazali, Al-Mushtashfa min ‘Ilm
al-Ushuul, Juz I hal. 127).
Jadi, menolak poligami dengan
alasan adanya praktik buruk poligami jelas tidak bisa diterima.
Jika dengan alasan tersebut poligami dilarang, lalu bagaimana dengan
yang monogami? Bukankah praktik buruk monogami juga ada? Apakah lalu
monogami juga mau dilarang? Tidak, bukan?
Syubhat Keempat
: Katanya Poligami Haram Berdasarkan Kaidah Fiqih Dar’ul Mafaasid
Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashaalih
Ada pula yang
menggunakan data-data empiris mengenai praktik buruk poligami
tersebut untuk menolak poligami, dengan ditambah argumen berupa
kaidah fiqih dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih
(menolak kerusakan, lebih didahulukan daripada memperoleh
kemaslahatan).
Dengan kata lain, melarang poligami harus
didahulukan dibandingkan membolehkan poligami.
Jadi,
pendapat itu menyatakan poligami harus dilarang, karena melarang
poligami artinya adalah menolak kerusakan, yang harus didahulukan
daripada mencari kemaslahatan, yaitu melakukan poligami.
Pendapat
itu batil. Sebab pengamalan kaidah fiqih itu dapat dikatakan sebagai
ijtihad. Padahal ijtihad tidak berlaku jika ada nash yang qath’i
(pasti/tegas) dalam suatu masalah.
Kaidah fikih
menyebutkan laa ijtihaada fii maurid al-nash (Tidak boleh melakukan
ijtihad pada saat ada nash yang qath’i).
Dalam hal ini
telah ada nash yang qath’i yaitu QS An Nisaa' : 3 yang membolehkan
poligami. Jika ada nash yang qath’i, tidak boleh lagi berijtihad
pada nash yang qath’i itu, apalagi sampai hasil ijtihadnya
membatalkan hukum bolehnya poligami dalam nash qath'i itu.
Tindakan
yang benar seharusnya bukan melarang poligami, melainkan meluruskan
penyimpangan dalam berpoligami, atau menghilangkan bahaya yang muncul
dalam berpoligami.
Kaidah fiqih menyebutkan adh-dharaar
yuzaalu syar’an (Segala bahaya wajib secara syar’i untuk
dihilangkan).
Jadi, kalau dalam berpoligami seorang suami
berbuat zalim, misalnya berlaku tidak adil dalam nafkah, atau suka
memukul isteri, maka yang dilakukan bukan membubarkan poligami,
melainkan mengadukan masalah tersebut kepada hakim (peradilan Islam).
Hakim dapat memberikan sanksi syar’i (ta’zir) kepada
suami dan mewajibkan suami agar memenuhi hak-hak nafkah isteri. Atau
agar suami tidak lagi memukul isteri.
Jadi ibaratnya,
kalau mobil kita rusak, misalnya AC rusak atau ban bocor, solusinya
bukanlah membuang mobil itu. Tapi bawalah mobil itu ke bengkel dan
perbaikilah AC-nya atau bannya saja. Inilah yang haq.
Syubhat Kelima : Katanya Poligami Haram Karena Suami Mustahil Berlaku Adil
Ada yang mengatakan poligami dilarang karena suami
mustahil berlaku adil kepada istri-istrinya, dengan dalil firman
Allah SWT :
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ
النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ
"Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
( QS An Nisaa' : 129).
Padahal yang dimaksud bahwa suami
mustahil berlaku adil di antara istri pada ayat di atas, adalah adil
dalam hal rasa cinta (al mahabbah) dan nafsu syahwat, sebagaimana
penafsiran Ibnu Abbas RA. Keadilan seperti itu memang mustahil,
karena berada di luar kuasa manusia.
Keadilan dalam ayat
itu berbeda dengan keadilan yang diwajibkan suami bagi
istri-istrinyadalam poligami (QS An Nisaa' : 3), yaitu keadilan yang
berada dalam kuasa manusia, yaitu adil dalam hal nafkah (sandang,
pangan, papan) dan mabiit (giliran bermalam) di antara istri-
istri.
Jadi, adalah tidak benar menolak poligami dengan
alasan suami mustahil berlaku adil berdasarkan QS An Nisaa' : 129.
Penolakan ini dasarnya adalah penafsiran yang keliru terhadap makna
adil dalam QS An Nisaa' : 129 tersebut.
Keadilan yang
mustahil dalam QS An Nisaa' : 129 itu maksudnya adalah keadilan di
luar kuasa manusia. Sedang keadilan yang diwajibkan dalam poligami
dalam QS An Nisaa' : 3 adalah keadilan yang masih berada dalam kuasa
manusia.
Wallahu a'lam.
Jakarta, 7 Juli 2019
M.
Shiddiq Al Jawi