Nabi Ibrahim sering kita sebut namanya dalam bacaan sholat. Dalam hal keluarga, Nabi Ibrahim merupakan orang tua yang sukses karena bisa mencetak dua putranya (Nabi Ismail dan Nabi Ishaq ‘Alaihumassalam) menjadi anak yang sholeh sekaligus menjadi manusia pilihan. Terlepas penetapan manusia menjadi nabi merupakan hak prerogatif Allah SWT. Lebih dari itu, ternyata, Nabi Ibrahim bisa dijadikan sebagai suri tauladan yang baik bagi kaum muslimin dalam hal berbakti kepada orang tuanya.
Adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala langsung yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam untuk menceritakan kisah Nabi Ibrohim sebagai pelajaran bagi umat manusia. “Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi” (QS Maryam [19]: 41).
Kisah yang dimaksud adalah dialog Nabi Ibrohim ‘Alaihissalam dengan bapaknya yg dalam satu riwayat dikenal dengan nama Azar (lihat Qishosul Anbiya karya Ibnu Katsir)
Alquran mengabadikan dialog tersebut “Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan." (QS Maryam: 42-45).
Mendapatkan nasehat dari Ibrahim, anaknya, sang bapak memberikan reaksi yang sangat keras dengan mengatakan "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama." (QS Maryam : 46).
Mendengar jawaban sang bapak, nabi Ibrohim memberi jawaban dengan sangat halus dan tetap mendoakan sang Bapak "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku." (QS Maryam: 47-48).
Bahkan di akherat kelak, Nabi Ibrohim akan menghadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar memasukkan sang bapak ke Syurga. “Ibrahim menemui bapaknya, Azar pada hari kiamat kelak, sedang wajah Azar Kusut Berdebu. Maka Ibrahim berkata kepadanya, ‘Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, jangan engkau maksiat padaku? ‘Bapaknya berkata kepadanya, ‘Pada hari ini aku tidak lagi mendurhakaimu. ‘Lalu Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah berjanji kepadaku, bahwa Engkau tidak akan menghinakanku pada hari dibangkitkannya manusia. Adakah yang lebih menyedihkanku, dari jauhnya bapakku dariku? Maka Allah Menjawab, ‘Sesungguhnya Aku telah mengharamkan Syurga bagi orang-orang kafir’.. (HR Bukhori), Qishosul Anbiya hal 215, Amelia 2008.
Dari kisah Nabi Ibrohim ini, setidaknya kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting bagaimana seharusnya anak bersikap terhadap orangtunya:
Anak yang sholeh tidak akan membiarkan orang tua yang dikasihinya berada dalam kesesatan. Dia akan menasehati orangtuanya agar kembali kepada jalan yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam menasehati kesesatan / kesalahan orang tua, tentu harus menggunakan kata-kata yang lembut meski tetap tegas.
Meski ditentang oleh sang Bapak, bahkan diancam dengan rajam, Nabi Ibrohim ‘alaihissalam tetap hormat dan mengharapkan kebaikan bagi sang Bapak.
Diakherat kelak, anak yang sholeh bisa meminta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar disatukan dengan orangtuanya. Hanya saja, dalam contoh Nabi Ibrohim, sang bapak adalah orang kafir sehingga permintaannya ditolak.
Nabi Ibrohim ‘alaihissalam tetap hormat dan tidak benci dengan bapaknya, meski sang bapak melakukan kesalahan yang paling besar yang dilakukan oleh manusia yaitu menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga tidak layak bagi seorang muslim membenci atau mendendam kepada orang tua hanya karena kesalahan yang dilakukan oleh orang tua di masa silam. Orang tua yang mampu tapi tidak menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi misalnya, atau kesalah-kesalahan lainnya.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Nabi Ibrohim ‘alaihissalam di atas. Semoga bisa menjadi bekal dalam berbakti kepada kedua orang tua. Amiin.
Sabtu 18 Agustus 2012 / 30 Romadlon 1433 H.
Mabsus Abu Faatih
Adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala langsung yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam untuk menceritakan kisah Nabi Ibrohim sebagai pelajaran bagi umat manusia. “Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi” (QS Maryam [19]: 41).
Kisah yang dimaksud adalah dialog Nabi Ibrohim ‘Alaihissalam dengan bapaknya yg dalam satu riwayat dikenal dengan nama Azar (lihat Qishosul Anbiya karya Ibnu Katsir)
Alquran mengabadikan dialog tersebut “Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan." (QS Maryam: 42-45).
Mendapatkan nasehat dari Ibrahim, anaknya, sang bapak memberikan reaksi yang sangat keras dengan mengatakan "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama." (QS Maryam : 46).
Mendengar jawaban sang bapak, nabi Ibrohim memberi jawaban dengan sangat halus dan tetap mendoakan sang Bapak "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku." (QS Maryam: 47-48).
Bahkan di akherat kelak, Nabi Ibrohim akan menghadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar memasukkan sang bapak ke Syurga. “Ibrahim menemui bapaknya, Azar pada hari kiamat kelak, sedang wajah Azar Kusut Berdebu. Maka Ibrahim berkata kepadanya, ‘Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, jangan engkau maksiat padaku? ‘Bapaknya berkata kepadanya, ‘Pada hari ini aku tidak lagi mendurhakaimu. ‘Lalu Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah berjanji kepadaku, bahwa Engkau tidak akan menghinakanku pada hari dibangkitkannya manusia. Adakah yang lebih menyedihkanku, dari jauhnya bapakku dariku? Maka Allah Menjawab, ‘Sesungguhnya Aku telah mengharamkan Syurga bagi orang-orang kafir’.. (HR Bukhori), Qishosul Anbiya hal 215, Amelia 2008.
Dari kisah Nabi Ibrohim ini, setidaknya kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting bagaimana seharusnya anak bersikap terhadap orangtunya:
Anak yang sholeh tidak akan membiarkan orang tua yang dikasihinya berada dalam kesesatan. Dia akan menasehati orangtuanya agar kembali kepada jalan yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam menasehati kesesatan / kesalahan orang tua, tentu harus menggunakan kata-kata yang lembut meski tetap tegas.
Meski ditentang oleh sang Bapak, bahkan diancam dengan rajam, Nabi Ibrohim ‘alaihissalam tetap hormat dan mengharapkan kebaikan bagi sang Bapak.
Diakherat kelak, anak yang sholeh bisa meminta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar disatukan dengan orangtuanya. Hanya saja, dalam contoh Nabi Ibrohim, sang bapak adalah orang kafir sehingga permintaannya ditolak.
Nabi Ibrohim ‘alaihissalam tetap hormat dan tidak benci dengan bapaknya, meski sang bapak melakukan kesalahan yang paling besar yang dilakukan oleh manusia yaitu menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga tidak layak bagi seorang muslim membenci atau mendendam kepada orang tua hanya karena kesalahan yang dilakukan oleh orang tua di masa silam. Orang tua yang mampu tapi tidak menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi misalnya, atau kesalah-kesalahan lainnya.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Nabi Ibrohim ‘alaihissalam di atas. Semoga bisa menjadi bekal dalam berbakti kepada kedua orang tua. Amiin.
Sabtu 18 Agustus 2012 / 30 Romadlon 1433 H.
Mabsus Abu Faatih
Artikel yang bagus...
ReplyDelete