July 7, 2010

Bukan Sekedar Menjadi INDUK


“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah” (Q.S. Luqman : 33)


Peringatan Allah dalam ayat tersebut mestinya menyadarkan orang tua agar bersegera ‘menolong’ anak-anaknya. Selama masih hidup di dunia fana ini. Orang tua yang sadar, senantiasa bekerja keras menyelamatkan anak-anak agar tak tersentuh seujung rambut pun oleh api neraka kelak.
Selagi belum terlambat, satu kali saja kesempatan hidup di dunia. Mempersiapkan diri, keluarga dan umat menuju tempat kembali yang abadi kelak. Menjadi sahabat anak-anak dalam ketaatan kepada Allah. Bukan membiarkan mereka terpedaya oleh keindahan dunia yang penuh tipudaya.



Menjadi sahabat memastikan orang tua bukan sekedar menjadi ‘induk’. Induk… mungkin lebih sederhana andai orang tua cukup memerankan diri sebagai induk. Mencarikan makan minum, menyiapkan tempat bernaung, memandikan. Sudah. Anak pun tumbuh dan berkembang begitu saja. Bayi yang menggemaskan… lalu menjadi anak-anak yang masih lucu-lucunya…kemudian berkembang menjadi pintar membangkang, jadi sosok yang menyebalkan. Banyak tuntutan, tidak suka taat, alih-alih berbakti, malah suka meremehkan, mengejek dan memaki orang tuanya. Lebih-lebih apabila keinginannya tidak dipenuhi oleh ayah-ibunya. Sungguh sedih bukan?


Susah payah meregang nyawa saat melahirkan. Berlanjut dengan banting tulang mencukupi kebutuhan pakaian, rumah yang memadai, menjaga dan merawat kesehatannya. Terus… pada usia sekolah, mengorbankan segala upaya agar mereka bisa duduk di bangku sekolah. Banyak hal tergadai untuk anak-anak. Lalu, jika mereka tumbuh menjadi para pembangkang? Sangat menyakitkan. Di dunia bagai musuh yang terus-menerus merongrong. Di akhirat kelak bukannya menjadi tabungan atas keshalehannya. Justru mengantar ke neraka akibat kelalaian orang tua dalam pengasuhan, pendidikan dan pengarahan.

Betapa sedih, ‘penyejuk pandangan mata’ telah menjelma menjadi anak-anak yang menyengsarakan. Sebelum terlanjur, lebih baik berhati-hati pada usia emasnya. Benar, golden age, rentang usia emas (sejak 0 tahun hingga 8 tahun) yang amat menentukan. Kesalahan pada usia ini dapat menjadikan mereka sebagai bom waktu. Bom waktu? Tentu saja, menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kerja keras orang tua diperpayah oleh tuntutan ego anak-anak. Alih-alih dapat memprogram character building (membangun karakter), malah banyak orang tua justru terprogram oleh tuntutan anak-anak mereka. Gaji bulanan yang habis oleh ‘keharusan’ memenuhi selera anak-anak terhadap mainan dan hiburan. Belum lagi tuntutan fashion, tampilan trendy seperti yang lazim ‘dipaksakan’ agar tak dicap kuper. Waduh…bisa kedodoran setiap bulan. Bahkan gaji tiga bulan dapat tergadai demi menuruti ke-aku-an mereka. Bagaimana mencegahnya?


Bersiaplah menjadi sahabat terbaik bagi mereka. Nikmatilah saat-saat mengadungnya. Meski segala kepayahan terasa melemahkan. Menjadikan mereka sahabat, bukan beban, dapat meredam gejolak emosi yang tak terkendali. Mencoba mengerti setiap reaksinya. Melakukan pendekatan paling baik ketika menyampaikan pesan. Mendampingi saat ia dalam kesulitan. Mengasah kepribadiannya agar tumbuh menjadi bagian dari generasi terbaik (khairu ummah). Benar-benar tidak mudah, sewajarnya apabila orang tua menuai pahala tak terputus dari anak-anak shalehnya.

Sumber : buku “Menjadi Orang Tua Sejati (Jangan Sekedar jadi Induk)
Karya : Ridha Salamah & Abu Zaid, Wadi Press (2005), hal 9-11
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment