oleh : Mustaqim Abu Jihad
Anak adalah anugerah.
Kehadirannya laksana buah yang dinanti pada saat musim panen tiba. Alangkah
indahnya hidup berkeluarga ketika Allah Ta’ala memberikan amanah berupa buah
hati yang tumbuh ditengah-tengah kita. Namun, ketika Allah Ta’ala sudah
memberikannya terkadang kita lalai dalam membersamai buah hati kita. Kita
justru lebih sering tersibukan dengan kerjaan diluar sana dan mengabaikan kerja
kebaikan dalam rumah tangga.
Seringnya, anak-anak kita hanya
mendapatkan jatah sisa dari waktu yang kita punya. Seringnya, anak-anak kita
hanya dianggap sebagai pelengkap dalam keluarga, bukan pokok utama yang mesti
disemai dengan cinta dan kasih sayang. Lelah, menjadi alasan klasik untuk para
orangtua enggan membersamai anaknya ketika di rumah. Letih, kadang menjadi
hambatan orang tua untuk mendengarkan celoteh buah hatinya.
Sibuk cari uang untuk mencari
uang untuk menafkahi anak, katanya. Faktanya, anak tidak sekedar butuh nafkah
lahiriyah saja, tapi batinnya pun mesti diberi pupuk-pupuk cinta agar ia
bertumbuh menjad pribadi yang baik ketika menginjak usia dewasa.
Karenanya, izinkan saya yang
faqir ini menyampaikan kisah tentang Buhul, seorang kerabat Khalifah Harun
Ar-Rasyid yang Allah berikan ilmu pengetahuan tentang agama-Nya. Kisah ini
dinukil dari buku “Saat berharga untuk anak kita” karya Ustadz Mohammad Fauzil
Adhim.
Suatu hari, ketika Buhul sedang asik bermain bersama
anak-anak. Harun Ar-Rasyid memanggilnya dan berkata, “Apa yang engkau lakukan?”
“Saya bermain bersama anak-anak,
dan membuat rumah dari tanah liat,” jawab Buhul.
Mendengar hal itu, Harun
Ar-Rasyid berkata, “Engkau sangat mengherankan. Engkau tinggalkan dunia beserta
isinya.”
Buhul menjawab, “Justru engkau
yang sangat mengherankan. Engkau tinggalkan akhirat beserta isinya.”
Teguran Buhul kepada Khalifah
Harun Ar-Rasyid seolah mengambarkan bahwa pembinaan terhadap anak merupakan
bekalan akhirat untuk para orangtua. Membersamainya dalam sebuah permainan,
ibarat memupuk kepercayaan terhadap orangtua. Bukankah kita tidak menginginkan
anak-anak kita kelak menjadi anak yang durhaka? Maka, bermain bersama adalah
sarana untuk menjalin kedekatan emosional dengan sang anak. Agar kelak
anak-anak kita senantiasa nyaman bercerita kepada ayah dan bundanya saat ia
tengah mengalami masalah.
Bukankah kelak kita pun akan
dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Ta’ala apabila gagal dalam mendidik
anak? Apakah kita ingin mereka menjadi penghalang masuk surganya para orangtua?
Innalillahi wainnailaihi raajiunn.
Semoga, kita dapat mengambil
pelajaran dai kisah ini. Bahwasannya, anak merupakan investasi kita untuk kehidupan
akhirat. bukan sekedar masalah duniawi saja, namun mendidik anak merupakan
dakwah nyata para orang tua untuk melahirkan generasi-generasi Rabbani.
Allahu’alam bishawab.