August 11, 2019

Tujuan Pendidikan Agama di dalam Keluarga

Sakinah - Pendidikan dalam keluarga
Tidak sedikit keluarga yang mengabaikan tujuan pendidikan di dalam keluarga khususnya pendidikan agama. Mereka lebih memercayakan kepada lembaga baik sekolah, majelis taklim, TPA, Pesantren atau tempat-tempat lainnya. Dilihat dari tempat penyelenggaraan pendidikan agama terbagi ke dalam empat tempat, yaitu di rumah, di masyarakat, di rumah ibadah dan di sekolah. 

Diantara empat tempat pendidikan agama (Islam) tersebut, ternyata pendidikan agama di rumah itulah yang paling penting. Demikian pendapat Prof. Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal.132). Pengabaian terhadap pendidikan di dalam keluarga khususnya pendidikan agama bisa berakibat fatal bagi keluarga muslimin tentunya.

Pentingnya pendidikan agama di dalam keluarga bisa dilihat dari beberapa sisi. Salah satunya dari tujuan pendidikan keluarga itu sendiri. Apa saja tujuan berkeluarga?.

Menurut Dr. Helmawaty Helmawati dalam Pendidikan Keluarga Teoritis dan Praktis,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016) disebutkan bahwa keluarga memiliki tujuan sbb:

1- Memelihara Keluarga dari Api Neraka

Tujuan pendidikan keluarga ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. At-Tahrim [66]: 6

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.

2- Beribadah Kepada Allah SWT

Manusia diciptakan memang untuk beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam kitab-Nya yang menganjurkan agar manusia beribadah kepada Allah SWT. (QS. Al-Dzariyat [51]:56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah


Ibadah dalam keluarga

3- Membentuk Akhlak Mulia

Penddikan dalam keluarga tentunya menerapkan nilai-nilai atau keyakinan seperti juga yang ditunjukkan dalam quran surat Luqman [31]: 12-19, yaitu agar menjadi manusia yang selalu bersyukur kepada Allah; tidak mempersekutukan Allah (keimanan); berbuat baik kepada kedua orang tua; mendirikan shalat (ibadah); tidak sombong; sederhana dalam berjalan; dan lunakkan suara (akhlak/kepribadian). Membentuk anak agar kuat secara individu, sosial, dan profesional. Kuat secara individu ditandai dengan tumbuhnya kompetensi yang berhubungan dengan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Sementara Tujuan pendidikan Islam menurut Rumusan konferensi pendidikan Islam sedunia yang ke-2 (1980) yang Pernah diselenggarakan di Islamabad adalah,
Education should aim at the balanced growth of total personality of man throught the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling, and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspect, spiritiaul, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.” yang artinya “Pendidikan harus ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demikian pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia pada seluruh aspeknya: spiritual, intelektual, daya imajinasi, fisik, keilmuan dan bahasa, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong seluruh aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan diarahkan pada upaya merealisasikan pengabdian manusia kepada Allah, baik pada tingkat individual, maupun masyarakat, dan kemanusiaan secara luas.”

Semoga penjelasan ini membuat kita lebih serius dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan pendidikan agama di dalam lingkungan keluarga.
Terima kasih sudah membaca.

Mabsus Abu Fatih

Tulisan ini pernah dimuat di UC-News

August 2, 2019

Hukum Chatting Dengan Non Mahram Via Sosmed

Hukum Chatting dengan Non Mahram
Diasuh oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan hukum syara’ seputar chatting antara laki-laki dengan perempuan non mahram di dunia maya via sosmed seperti Facebook, Twitter, WhatssApp!
Fatih, Depok

Jawab :
Sebelumnya perlu ditegaskan, tidak benar anggapan bahwa di dunia maya seseorang boleh bicara apa saja secara bebas tanpa terkena dosa, dengan dalih percakapan itu terjadi di dunia maya bukan di dunia nyata. Yang benar, bahwa apa yang ditulis oleh seseorang di dunia maya, secara hukum Islam sama dengan ucapan lisan yang dikeluarkan oleh mulutnya. Kaidah fiqih menyebutkan : Al Kitaab kal khithaab (tulisan itu hukumnya sama dengan ucapan lisan). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawaid Al Fiqhiyyah, 8/272-273).

Kaidah itu sejalan dengan apa yang dulu diamalkan oleh Nabi SAW, yaitu berdakwah lewat surat kepada para raja atau kaisar. Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi SAW telah menulis surat kepada kaisar Romawi mengajaknya masuk Islam. (HR Bukhari, no 2782). Dakwah lewat surat ini hakikatnya sama saja dengan dakwah dengan lisan. (‘Atha` Abu Rasytah, Silsilah Ajwibah, 24/10/2-13).

Maka dari itu, seseorang tetap berdosa jika di dunia maya menuliskan kata-kata yang bertentangan dengan akidah/syariah Islam, seperti menyebarkan ide kufur (demokrasi, nasionalisme, sekulerisme, pluralisme, dsb), memaki-maki orang, menulis ucapan kotor atau cabul, memfitnah, menggunjing, dan sebagainya. Sebaliknya seseorang akan mendapat pahala jika menuliskan kata-kata yang mengandung kebaikan (al khair), yaitu menulis tentang Islam (misalnya berdakwah atau menyebarkan tsaqafah Islam) atau apa saja yang tidak bertentangan dengan Islam (misalnya menyebarkan pengetahuan umum yang bermanfaat).

Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia mengucapkan kebaikan atau diam.” (HR Bukhari, no 5672).

Adapun hukum chatting antara antara laki-laki dengan perempuan non mahram di dunia maya, hukumnya mubah dengan dua syarat; Pertama, terdapat hajat (keperluan) yang dibenarkan oleh syariah Islam, seperti silaturahim, berdakwah, belajar, berobat, meminta fatwa, melakukan akad seperti jual beli, ijarah, utang piutang, dsb. Kedua, ucapan yang ditulis tidak bertentangan dengan syariah Islam.

Syarat pertama, dasarnya adalah dalil-dalil yang membolehkan adanya interaksi antara laki-laki dengan perempuan non mahram jika ada hajat yang dibenarkan syariah, seperti beribadah haji atau berjual beli. Jika tidak ada dalil syar'i yang membolehkan suatu hajat, haram hukumnya ada interaksi antara laki-laki dengan perempuan non mahram, termasuk interaksi di dunia maya. Mengapa haram? Karena hukum asalnya laki-laki dan perempuan non-mahram itu wajib infishal (terpisah), baik dalam kehidupan umum (seperti di jalan, kampus), maupun dalam kehidupan khusus (seperti di rumah). Kewajiban infishal ini telah ditunjukkan oleh sejumlah dalil, seperti hadits yang mengatur shaf shalat kaum wanita di belakang shaf kaum laki-laki. Juga hadits yang memerintahkan kaum wanita keluar masjid lebih dahulu setelah shalat jamaah. Juga hadits yang menunjukkan jadwal yang berbeda dalam belajar Islam dengan Rasulullah SAW antara antara kaum wanita dengan kaum laki-laki (HR Bukhari). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fil Islam, hlm. 38-39; Muqaddimah Ad Dustur, 1/317-318).

Syarat kedua, dalilnya ayat atau hadits yang memerintahkan setiap Muslim untuk berkata sesuai syariah. Misal perintah Allah untuk berkata benar (QS Al Ahzab : 70), atau hadits Nabi SAW, ”Seorang muslim yang afdhal adalah siapa saja yang muslim lainnya selamat dari ucapan dan tangannya.” (HR Bukhari & Muslim), dll. (Imam Nawawi, Al Adzkar, Kitab Hifzhil Lisaan, hlm. 283-288).

Maka dari itu, setiap chatting yang tidak memenuhi satu atau dua syarat di atas, hukumnya haram dan pelakunya berdosa. Misalnya, laki-laki yang memuji kecantikan atau keindahan tubuh teman wanitanya, atau merayunya, atau melamarnya padahal perempuan itu masih bersuami, dsb. Haram pula perempuan menulis kalimat dengan kata-kata yang dapat merangsang syahwat teman laki-lakinya, dsb. Haram pula saling curhat masalah atau aib rumah tangga masing-masing, karena ini bukan hajat yang dibenarkan syariah.

Wallahu a’lam.

Sumber :Tabloid Media Umat edisi April 2014