Soal:
Bagaimana hukum merekam hubungan suami-istri dengan menggunakan kamera? Bagaimana hukum memberitakan dan menyebarkannya sehingga bisa ditonton orang lain? Bagaimana pula hukum men-download, menkopi dan menggandakannya?
Jawab:
Masalah ini kini sedang ramai menjadi pembicaraan kaum Muslim, dan bala’ dari perbuatan tersebut telah menimpa mereka, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Karena itu, wajib dijelaskan hukumnya menurut syariah Islam. Islam telah mengajarkan akhlak dalam hubungan suami-istri (mu’asyarah). Dalam sabdanya, Baginda Nabi saw. bersabda:
«إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ الْعِيرَيْنِ»
Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya (melakukan hubungan suami-istri), hendaknya menutup auratnya, dan mereka berdua tidak telanjang bulat (HR Ibn Majah dari ‘Utbah bin ‘Abdus Salma).
Bagaimana hukum merekam hubungan suami-istri dengan menggunakan kamera? Bagaimana hukum memberitakan dan menyebarkannya sehingga bisa ditonton orang lain? Bagaimana pula hukum men-download, menkopi dan menggandakannya?
Jawab:
Masalah ini kini sedang ramai menjadi pembicaraan kaum Muslim, dan bala’ dari perbuatan tersebut telah menimpa mereka, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Karena itu, wajib dijelaskan hukumnya menurut syariah Islam. Islam telah mengajarkan akhlak dalam hubungan suami-istri (mu’asyarah). Dalam sabdanya, Baginda Nabi saw. bersabda:
«إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ الْعِيرَيْنِ»
Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya (melakukan hubungan suami-istri), hendaknya menutup auratnya, dan mereka berdua tidak telanjang bulat (HR Ibn Majah dari ‘Utbah bin ‘Abdus Salma).
Dalam hadis lain, Nabi saw. juga bersabda:
«إِيَّاكُمْ وَالتَعَرِّي فَإِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لاَ يُفَارِقكُمْ إِلاَّ عِنْدَ الغَائِطِ وَحِينَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى أَهْلِهِ فَاسْتَحْيُوهُمْ وَأَكْرِمُوهُمْ»
Jauhilah oleh kalian bertelanjang, karena bersama kalian ada pihak yang tidak akan pernah berpisah dengan kalian, kecuali ketika buang hajat besar dan ketika seseorang pria bersetubuh dengan istrinya. Karena itu, malulah kalian terhadap mereka, dan muliakanlah mereka (HR at-Tirmidzi dari Ibn Umar).
Imam as-Syaukani, dalam kitabnya, Nayl al-Awthar, menjelaskan bahwa hadis di atas memerintahkan agar menutup aurat dalam seluruh kondisi, meminta izin untuk membuka bagian yang harus dibuka ketika berhubungan badan (jimak), dan tidak halal bertelanjang bulat sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis ‘Utbah di atas.[1] Selain tidak boleh berhubungan badan dalam kondisi telanjang bulat, Islam juga mengharamkan menceritakan perihal hubungan tersebut kepada orang lain. Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi saw. telah bersabda:
«إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا»
Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya (HR Muslim dari Abi Said al-Khudri).[2]
Keharaman menceritakan tersebut termasuk keharaman suami yang mempunyai dua istri atau lebih, yakni hubungan badan suami-istri dengan istri satu disampaikan kepada istri yang lain. Berdasarkan nas-nas di atas, maka keharaman hukum menceritakan tersebut termasuk keharaman merekam adegan ranjang untuk disebarkan, agar bisa ditonton orang lain. Dengan keras Nabi saw. menggambarkan mereka seperti setan:
«هَلْ تَدْرُونَ مَا مَثَلُ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ مَثَلُ شَيْطَانَةٍ لَقِيَتْ شَيْطَانًا فِي السِّكَّةِ فَقَضَى مِنْهَا حَاجَتَهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ»“
Tahukah apa permisalan seperti itu?” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya permisalan hal tersebut adalah seperti setan wanita yang bertemu dengan setan laki-laki di sebuah gang, kemudian setan laki-laki tersebut menunaikan hajatnya (bersetubuh) dengan setan perempuan, sementara orang-orang melihat kepadanya.” (HR Abu Dawud).[3]
Adapun merekam adegan mesum seperti ini untuk keperluan sendiri, bukan untuk disebarkan, juga tidak boleh. Sebab, ini termasuk perbuatan sia-sia, yang tidak ada gunanya. Ketidakbolehan tersebut didasarkan pada hadis Nabi saw.:
«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ»
Tanda dari baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya (HR Ibn Majah).[4]
Adapun hukum memberitakan dan memperbincangkan peristiwa seperti ini juga diharamkan, karena termasuk menyebarkan perbuatan maksiat. Nabi saw. dengan tegas menyatakan:
«كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ»
Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sesungguhnya di antara bentuk menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan perbuatan pada waktu malam, sementara Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi dia berkata, “Wahai fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu.” Padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah (Muttafaq ‘alayh).[5]
Karena itu, hendaknya seorang Muslim menjaga lisannya dari membicarakan perbuatan maksiat orang-orang seperti mereka (mujahirin), bukan untuk menutup aib mereka, tetapi agar tidak terlibat dalam menyebarkan perbuatan keji maksiat mereka di tengah-tengah orang Mukmin. Juga termasuk menjaga lisan dan pikiran dari perkara-perkara yang sia-sia, kecuali untuk menjelaskan hukumnya, agar umat tidak melakukan kemaksiatan serupa. Karena seluruh perbuatan di atas diharamkan, maka men-download, mengkopi dan menyebarkannya–meski yang disebarkan adalah madaniyyah (produk materi/bukan pemikiran), tetapi karena madaniyyah ini terkait dengan hadharah tertentu, dan isinya diharamkan oleh Islam–jelas hukumnya haram.
Wallâhu a’lam.
K.H Hafidz Abdurrahman,
Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia
Catatan kaki:
[1] Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad as-Syaukani, Nayl al-Awthar, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., VI/205.
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2597.
[3] Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis no. 1859.
[4] Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadis no. 3966.
[5] Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadis no. 560; Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 5306.
Sumber: hizbut-tahrir.or.id
Catatan kaki:
[1] Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad as-Syaukani, Nayl al-Awthar, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.t., VI/205.
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2597.
[3] Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis no. 1859.
[4] Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadis no. 3966.
[5] Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadis no. 560; Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 5306.
Sumber: hizbut-tahrir.or.id